Rion diperbolehkan pulang, tapi itu tidak membuat hatinya senang, biasa saja. Yang sedikit membuat suasana hatinya bergairah di hari ini adalah keberadaan keponakannya yang ikut menjemput. Sepanjang jalan Rion memainkan jari-jari kecil itu, Erlin memangku Altair dengan posisi si bayi menyamping agar menghadap kepada omnya.
Rion yang bersandar miring pada jok mobil lalu menegakkan duduknya kemudian dengan iseng dia melepas nasal kanul, mendekatkan salah satu cabang nasal ke depan lubang hidung kecil keponakannya. Awalnya Erlin tidak sadar, tapi saat bayi dalam pangkuannya menggerak-gerakkan kepala karena mungkin tidak suka dengan apa yang dilakukan omnya. Baru lah Erlin melebarkan bola mata.
"Yong, ngapain sih. Bun, liat tuh, Bun dilepas-lepas. Bi, liat, Bi," Erlin langsung mengadukan kelakuan adiknya dengan ribut, seketika panik juga.
Lena yang duduk di depan, menoleh ke belakang.
Rion tidak lantas memakai nasal kanulnya kembali, seolah sedang menantang napas beratnya.
"Yong!" tegur Lena dengan sepasang bola mata yang melotot.
Tapi namanya juga Clarion, semakin ditegur, semakin menjadi. Dia malah menurunkan kaca jendela lalu sedikit memajukan kepala ke jendela terbuka itu kemudian menghirup dalam-dalam udara luar yang membuatnya langsung terbatuk.
"Rion!"
"Pake ih! Lo ngapain sih?!"
Erlin menarik tangan adiknya kemudian hendak memakaikan paksa nasal kanul, tapi sulit karena ada Altair.
"Rion!" Lena menegur untuk ketiga kali dengan nada suara yang lebih tinggi.
Dan yang ditegur malah terkekeh sambil menaikan kembali kaca jendela. Napasnya mulai tersengal karena nasal kanul belum dia pakai, masih digenggam dan dijauhkan dari jangkauan Erlin.
"Orang masih bisa kok napas sendiri," ucapnya, terdengar susah payah, bergelut dengan napasnya sendiri.
Rion kemudian mengaitkan kembali selang nasal kanul ke telinganya, memasukkan kedua cabang nasal ke dalam lubang hidungnya.
"Masih idup, kan?" katanya dengan senyum yang merekah.
Lena memandang khawatir, tapi masih diam, membiarkan Rion mengatasi sendiri napasnya yang jadi tersengal-sengal.
"Rileks," Bilal baru bersuara dengan nada datar.
Erlin mengelus-elus tangan Rion, menenangkan melalui sentuhan itu.
"Tarik napas lewat hidung... satu... dua, tutup mulut. Keluarin, tiup pelan-pelan, satu... dua... tiga... empat. Ulang lagi. Jangan panik."
Cara bernapas seperti itu sudah sering Bilal ataupun dokter lain intruksikan saat Rion sedang kelabakan dengan napasnya.
"Minum dulu," kata Lena.
"Jangan sekarang, Bun, nanti keselek," larang Erlin.
Lena menghela napas, memandang penuh kekhawatiran.
"Makanya, jangan dipake becandaan," katanya, mengomel dengan nada suara yang pelan.
Setelah sesaknya lumayan hilang, Rion menyandarkan kepalanya, memejamkan mata. Dalam hatinya sedang merutuk, lemah sekali.
Erlin membenarkan posisi nasal kanul yang berantakan. Dengan satu tangan dia mendorong klip pada nasal kanul sampai ke bawah dagu Rion.
Lena dan Erlin terus memperhatikan si anak baik yang kini bernapas dengan teratur, matanya terpejam tenang. Rion tertidur dalam hitungan menit.
"Dah, mending tidur emang," kata Erlin.
Untuk kedua kalinya Lena mengeluarkan helaan napas, tidak berkomentar, dia kembali menghadap ke depan. Ingin mengomel panjang lebar, tapi paham dengan jengah yang dirasakan putranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just🌹Stories
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Tentang si bengek apes 'Clarion--Iyong'.