40

3.4K 398 62
                                    

Di hari ke-enam akhirnya Rion dipindahkan ke ruangan rawat inap. Tumbangnya kali ini tidak ada tindakan aneh seperti kejadian yang sudah-sudah; operasi lah, pasang ini, pasang itu. Tapi, entah kenapa justru yang kali ini terasa lebih menyiksa, tiga hari sesak napas-nya tidak membaik. Rion sampai was-was pada kedatangan malaikat maut, tiap waktu dia meminta maaf pada sang pemilik hidup, minta dihapuskan dosanya, dan minta dipermudah dalam sakaratul maut-nya. Tapi ternyata Rion masih diberi hidup; namanya belum ada di daftar kunjungan malaikat Izrail. Di hari ke-empat sesak napas-nya akhirnya membaik, dan di hari ke-enam ini dia dipindahkan ke ruangan rawat inap.

.

Rion dibawa menuju ruangannya menggunakan brankar, dia belum punya tenaga untuk sekadar melepaskan punggung dari ranjang.

Kedua orang tuanya sedang berbicara dengan dokter yang baru saja ikut mengantarkan Rion ke ruangan itu.

Ada Erlin di samping ranjang, tersenyum lebar memandangi Rion.

"Gue kira lo gak ada." Rion berucap dengan suara serak yang terdengar lirih, terlihat jelas kalau rasa sesak masih mengganggunya.

"Kenapa? Kangen sama gue?"

Bola mata itu memutar lemah.

Erlin terkekeh, matanya memanas. Senang nangis, sedih nangis, jadi berasa cengeng banget dia.

Lena menghampiri setelah selesai berbicara dengan dokter, berdiri di samping kursi yang diduduki Erlin. Di sofa ada Qaisar dan Junior yang hanya menatap ke arah abangnya, terlihat segan untuk mendekat.

"Mau makan, gak?" tawar Lena.

Kening Rion mengernyit.

(....)

"Tulang pipi lo nonjol," ucap Erlin sembari menyentuhkan ujung kuku pada tulang yang menonjol di area pipi yang kehilangan lapisan daging. Padahal sebelumnya juga daging yang melapisi pipi tirus itu tak seberapa, tak betah banget daging nempel di tubuh Rion.

Lena tersenyum kemudian menoleh ke belakang, ke arah sofa berada.

"Jun, kemaren nanyain Abang, Qai juga, ke sini dong samperin abangnya."

Qaisar pura-pura mengalihkan pandang dan Junior menyandarkan punggung rapat pada tubuh sang ayah.

Rion tersenyum sangat samar, dia pikir tidak akan bisa lagi melihat kedua adiknya yang menyebalkan itu.

"Abang di IGD?" tanya Rion.

Lena mengangguk.

Rion teringat tiga hari pertamanya di rumah sakit, di mana saat malam dia kesulitan tidur karena sesak yang menyiksa, di saat itu abangnya selalu ada menemani, entah orang itu sempat tidur atau tidak.

"Coba waktu itu nurut sama gue, di rumah aja. Ba'al sih kuping lo, gak pernah dengerin apa kata orang yang lebih tua," kata Erlin.

Pandangan Rion menyendu, tidak berniat membela diri karena dia sendiri sempat menyesali.

"Lo marah sama gue karena itu, Kak? Makanya gak jenguk-jenguk kemaren?" tanya Rion.

Kedua alis Erlin naik. Respon yang tidak disangka dan pertanyaan yang tidak terduga, dia kira Rion akan membela diri dengan menggebu.

"Ngapain gue marah sama lo. Gue tuh gak jenguk karena gue gak bisa liat lo dalem keadaan kayak kemaren, nangis-nangis doang nanti gue," sahut Erlin dengan nada bicara yang lembut.

"Iya, kayak Bunda," Lena menimpali, mengaku tanpa ragu. Di hari-hari kemarin setiap hari dia besuk Rion di HCU, dan tiada hari tanpa menangis di depan putranya itu.

Just🌹StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang