Chapter 11

480 76 14
                                    


"Assalamualaikum... Permisi... Kulo nuwun..." ucap Shani dan Chika bersamaan, sambil masuk ke dalam warung dan duduk di meja kayu yang sudah terlihat kusam dan sedikit reyot. Mata Chika berbinar saat di depannya tersaji jajanan pasar tradisional khas jawa yang berderet rapi, ada kue pasung kesukaannya yang di bungkus rapi dengan daun pisang. Tanpa babibu dia langsung mengambil sepotong dan melahapnya. Chika hanya meringis saat Shani memperhatikannya sambil menggelengkan kepalanya.

"Wa'alaikumsalam... Monggo mbak..." seorang bapak berumur sekitar 50 tahunan keluar dari pintu yang hanya di halangi oleh kain usang berwarna biru.

"Teh angetnya 2 ya pak, yang satu gulanya sedikit saja.." ucap Shani, lalu duduk di samping Chika yang kini tengah mengambil klepon. Sepertinya adiknya itu tengah kelaparan.

"O njeh mbak.. saya buatkan dulu.." ucap bapak itu lalu meracik pesanan Shani, suara gelas dan sendok terdengar beradu memecah keheningan siang hari di desa itu.

"Mbak-mbak ini dari mana dan mau kemana?? Jarang sekali ada mobil lewat desa ini..." ucap bapak tersebut, lalu meletakkan 2 gelas teh hangat di depan meja Shani dan Chika. "Monggo mbak mumpung masih hangat.." sambung bapak itu sambil tersenyum.

"Nggeh pak matursuwun..." Chika tersenyum lalu menyeruput teh hangatnya.

"Kami dari jogja pak, mau berkunjung ke rumah itu, eh kok malah taunya udah terbakar seperti itu.." jawab Shani.

"Rumah Bu Saras? Tadi malem baru aja kebakar mbak.. ndak tau juga itu penyebabnya apa, tau-tau apinya sudah membesar." jelas bapak itu, lalu duduk tak jauh dari Chika dan Shani.

"Mbak-mbak ini siapanya Bu Saras yaa? Kok tumben sekali ada orang yang mencari beliau.. beliau kan juga sudah meninggal, sudah lama.." tanya bapak itu, lalu mengeluarkan lintingan dan mulai menyulutnya. Asap mengepul dan membumbung tinggi di terbangkan angin siang bolong.

Sejenak Chika dan Shani saling berpandangan, tidak terduga jika bapak itu akan menanyakan hubungan antara mereka berdua dan Bu Saras.

"Ah kami berdua ini cucu dari teman Bu Saras pak.. tujuan kami kemari hanya sekedar ingin mampir saja, kami nggak tau kalau ternyata rumahnya tadi malam terbakar.." jelas Chika sambil tersenyum. Bapak itu pun mengangguk percaya.

"Memangnya Bu Saras meninggal karena apa ya pak?" tanya Chika, mencoba menggali informasi.

"Beritanya simpang-siur mbak, ndak tau pasti juga saya. Ada yang bilang karena sakit jantung, ada yang bilang karena bunuh diri, ada yang bilang juga karena sengaja di racun. Bu Saras itu kan orang terpandang di desa sini. Orang paling sugih mbak.." ujar bapak itu, sambil sesekali menghisap lintingannya.

"Maksud bapak ada yang sengaja mencelakainya begitu?" tanya Shani, sambil meletakkan gelas yang kini berisi air teh yang tinggal setengah.

Bapak itu mengangguk, "beliau itu juragan mbak disini, walaupun ndak pernah jahat sama kanan-kiri, tapi kan namanya persaingan bisnis, bisa saja to ada yang sengaja bikin beliau celaka?"

"Iya pak bisa jadi.." balas Chika, walaupun sebenarnya feeling Chika tidak mengarah ke pembunuhan, setidaknya pembunuhan yang di lakukan oleh manusia.

"Ah tapi Alhamdulillahnya pas terjadi kebakaran rumah itu udah kosong, wong pancen sudah kosong bertahun-tahun sih.." ujar bapak itu, lalu pandangannya menatap ke arah rumah Bu Saras.

(Karena memang sudah kosong bertahun-tahun sih..)

"Memangnya sudah kosong berapa lama pak?" tanya Chika kembali, tangannya terlipat di atas meja.

"Sudah lama sekali mbak, seingat saya setelah Bu Saras meninggal, lalu setelah 40 hari itu cucunya kan di gondol Selong. Hampir 3 hari ilang ndak ketemu, eh hari ke-4 ketemu di Alas Pring di pinggir desa, nah setelah kejadian itu ndak lama keluarga Bu Saras pindah. Ndak tau juga mereka pindah kemana. Rumahnya juga di biarkan begitu saja, kosong mlompong." jelas bapak itu.

WENGIWhere stories live. Discover now