37 - THE CHEATER

295 78 9
                                    

Benio masih berada di samping Ammar hingga pagi menjelang. Keduanya dibangunkan oleh ibu Ammar setelah semalaman tidur berdampingan di kursi. Bisa dibilang badan Benio sebenarnya sakit karena tidur di kursi. Tapi dia tidak akan mengatakannya pada Ammar.

"Gimana kondisi Ambar?" Ammar berdiri, menggerakkan tubuhnya yang kaku.

Ibu menggeleng. Belum ada perbedaan dari semalam.

"Kalian cari sarapan dulu. Ibu jaga di sini."

Ammar setuju, dia pun menarik tangan Benio untuk menyingkir ke kantin. Lagi-lagi Benio tak tahu apa yang merasukinya, dia menerima uluran tangan Ammar dan mereka bergandengan menuju ke kantin.

Di kantin, Ammar membelikan roti dan kopi untuk mereka masing-masing. Makanan itu dibawa ke taman untuk dinikmati di sana. Ternyata bukan hanya Ammar dan Benio yang memutuskan untuk makan di kantin, melainkan banyak juga pendamping pasien dan pasien yang berjalan-jalan di pagi hari.

"Kemarin, kamu telepon aku kenapa, Ben?" Ammar memulai pembicaraan.

Akhirnya Benio kembali teringat. Dia berniat untuk mengatakan pada Ammar bahwa dia memilih Fauzan, dan untuk itu mereka sebaiknya tidak bertemu lagi. Kenyataan sungguh berkata sebaliknya. Sekarang dia malah berada di samping Ammar setelah menemaninya semalaman. Sungguh bagai seorang pasangan resmi.

"Nggak ada apa-apa yang khusus," Benio kembali berbohong.

Ammar tersenyum sedikit. "Karena kangen sama aku?"

Benio membalas dengan senyum kecut. "Terserah kamu aja, Mar."

Keduanya kembali diam, menghabiskan roti jatah masing-masing.

"Setelah sarapan, aku mungkin harus pulang. Aku ada janji dengan Ojan hari ini." Pelan, Benio melirik ke samping. Begitu nama Fauzan disebut, Ammar mengangguk. Dia paham bahwa Benio masih bukan miliknya.

"Ya. Silakan. Aku akan baik-baik saja," Ammar meyakinkan. Namun Benio entah kenapa merasa bersalah. Separuh dirinya ingin tetap ada di sini, berada di samping Ammar, menenangkannya.

"Ambar akan baik-baik saja, Mar," Benio meyakinkan sekali lagi, sembari mengelus rambut Ammar yang sedikit berantakan.

"Doakan saja, Ben," Ammar mengambil tangan Benio di kepalanya, kemudian mencium punggung tangannya dengan khidmat.

"Mar..." Benio memanggil nama pria di depannya ini dengan begitu mesra. "Apakah aku sudah selingkuh dari Fauzan?"

Ammar menatap wajah Benio, masih memegang tangan gadis itu.

"Ben... Itu sebuah pertanyaan yang sudah jelas jawabannya."

Benio menelan ludah.

"Yang jadi pertanyaan sekarang adalah, bagaimana perasaan kamu terhadap Fauzan? Jawaban itu yang akan menentukan nasib kamu, dia, juga aku."

Benio menarik tangannya dari Ammar dengan dalih membereskan sarapan mereka. Ammar ikut berdiri. Dia pun mengantar Benio pergi, kembali ke pacar yang sebenarnya.

***

Untunglah Benio tak membuang waktu begitu sampai di apartemennya. Langsung mandi dan berdandan, lalu sudah siap tepat ketika Fauzan meneleponnya mengatakan bahwa dia tiba. Sekarang rasanya jadi begitu sulit untuk bersikap 'normal' pada Fauzan. Menerima uluran tangan Fauzan, menerima ciumannya, dan tertawa atas kebersamaan mereka. Benio pribadi belum melupakan suasana canggung dan menyesakkan ketika lamaran Fauzan ditolaknya. Belum lagi dia yang telah berselingkuh dengan Ammar.

"Aku mau ajak kamu ke tempat baru punya perusahaanku. Arena bermain, spa, juga golf, dan tempat makan yang enak dengan pemandangan kota yang bagus. Area ini belum dibuka, Ben, jadi kamu bisa dibilang sebagai pengunjung pertamanya."

Fauzan menjelaskan dengan riang di dalam mobil, seakan tidak ada apapun yang terjadi di antara mereka. Kadang Benio juga takjub dengan perubahan emosi kekasihnya yang cukup drastis. Atau mungkin memang Fauzan terlalu pemaaf untuknya?

Seharian itu Benio bisa mengesampingkan perihal Ammar. Waktunya benar-benar dihabiskan untuk Fauzan saja. Pacarnya itu mengajaknya untuk berkeliling area seluas 30 hektar yang mewah dan sejuk. Fauzan juga mengajaknya melakukan spa bersama-sama, lalu menonton film di bioskop pribadi. Berbaring di sofa yang empuk dan besar sambil berangkulan.

Di malam hari, Fauzan mengajaknya makan malam di restoran empat lantai. Angin bertiup cukup kencang namun tetap memungkinkan mereka untuk makan dengan nyaman. Makanan yang disajikan adalah three course meal yang sekali icip pun benar-benar terasa nikmat.

"Ben..." Fauzan meraih tangan Benio saat mereka menikmati makanan penutup. Dia mencium punggung tangan Benio dan mengelusnya. "Maafkan aku ya. Melamar kamu tiba-tiba padahal kita belum pernah membahas pernikahan sebelumnya."

Benio tercengang. Tidak menyangka topik ini diangkat lagi.

"Aku sayang kamu dan jujur aku cemburu pada Ammar. Makanya aku melamar kamu dengan segera. Aku hanya nggak mau kehilangan kamu, aku mau sama kamu selamanya. Tapi ternyata itu mengejutkan kamu. Maafkan aku, ya, Sayang." Fauzan mengecup punggung tangan Benio lama.

"Jan..."

"Aku nggak akan memaksa kamu kalau kamu belum siap. Kita masih tetap bisa pacaran dan aku akan melamar kamu ketika kamu siap. Oke?"

Benio pun luluh. Dia mengangguk.

"Iya, Jan. Aku juga minta maaf karena menolak seperti itu."

Fauan tersenyum. "Nggak masalah, Io."

"Dan aku dengan Ammar... kami nggak ada apa-apa." Benio nekat bicara begitu. Dia sedang berbohong sebenarnya. Tidak mungkin tidak ada apa-apa ketika mereka rajin bertemu, pernah bercinta, dan bahkan baru beberapa hari lalu berciuman. Tapi ini penting dikatakan karena dia sekarang sedang berbaikan dengan Fauzan. "Kami memang bertemu beberapa kali, Jan. Karena membahas kasus pembunuhan yang terjadi ke teman-teman kami."

Fauzan mengangguk. "Oh kasus itu. Beritanya memang cukup mencengangkan."

"Iya. Bahkan... kemarin pun adiknya Ammar mengalami kecelakaan."

Jeda satu detik, barulah Fauzan berkomentar. "Kecelakaan? Bagaimana ceritanya?"

Benio menceritakan kronologis yang diberitahukan Ammar kepadanya. Ekspresi Fauzan tidak berubah.

"Kamu bilang Ammar ada di dekat adiknya saat itu?"

Benio mengangguk.

"Ben..." Fauzan mendekatkan dirinya ke Benio. Matanya penuh rasa curiga. "Apa mungkin sebenarnya supir itu mengincar Ammar? Pelakunya pelaku yang sama dengan pembunuhan teman-teman kamu yang lain."

Mata Benio melebar. "Nggak mungkin, Jan."

"Apanya? Apa mungkin mobil yang sehat dan bukan rem blong, pun supirnya tidak mengantuk sengaja menabrak seorang perempuan? Apa menurut kamu ada yang dendam pada Ambar? Lebih masuk akal kalau ada yang dendam pada Ammar, Ben."

Benio menelan ludah. "Kenapa harus ada yang dendam ke Ammar?"

Fauzan pun menggeleng. "Pertanyaan yang sama ke teman-temanmu. Kenapa ada yang dendam ke mereka? Nyatanya mereka tetap jadi korban."

Benio menunduk, pandangannya ke arah piring berisi strawberry shortcake yang baru dimakan setengah. Dari penyelidikan yang dia lakukan, semua korban ada kaitannya dengan kasus bullying pada Benio bertahun-tahun lalu. Kalau memang yang dikatakan Fauzan benar, bahwa Ammar juga diincar, berarti Ammar ada hubungannya dengan kasus bullying Benio?

Mungkinkah?

*** 

Latte Murder - END (WATTPAD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang