43 - THE DARK PAST

291 81 7
                                    

Ammar memberi perintah kepada petugas keamanan apartemennya untuk tidak mengizinkan Fauzan mendekati gedung ini. Jika dia terlihat, petugas diizinkan untuk mengusir dan menelepon Polisi. Memang saat ini Fauzan sudah ditangkap oleh Polisi, tapi kita tidak tahu apakah dia ditahan di penjara atau dibebaskan selama masa proses pengadilan. Atau mungkin dibebaskan sama sekali. Maka lebih baik Ammar melakukan tindakan pencegahan sedini mungkin.

Benio pun dipersilakan tinggal di kamar Ammar, berapa pun lamanya. Benio tak punya sanak saudara lainnya yang bisa membantu melindungi. Menumpang kepada rekan kerjanya pun Benio bilang mereka tak sedekat itu. Apalagi beberapa sudah berkeluarga. Jika melarikan bersembunyi sendirian, bagi Ammar itu malah sama berbahayanya. Setidaknya di sini ada Ammar yang membantu menjaga Benio, membantu memenuhi kebutuhannya, juga ada petugas keamanan di bawah yang menjaga.

Ammar pulalah yang menghubungi kantor Benio, meminta izin untuk cuti berbekal surat keterangan dari Polisi. Ammar menghubungi langsung atasan Benio sehingga hanya beliau yang tahu kejadian sebenarnya. Orang lain cukup tahu bahwa Benio mengalami musibah tanpa perlu tahu detil sebenarnya.

Berdasarkan saran Polisi, Ammar menawari Benio untuk melakukan terapi. Tapi Benio menolak. Dia merasa belum siap untuk bertemu orang lain. Benio yakin dengan berjalannya hari, dia akan berangsur membaik.

Pekerjaan Ammar yang memungkinkannya bekerja dari manapun menyebabkan dia memutuskan bekerja dari rumah selama tiga hari pasca kejadian itu. Selama Ammar bekerja, Benio mulai menyibukkan diri. Membereskan rumah Ammar, menyirami tanaman–yang sengaja Ammar beli atas permintaan Benio, bersamaan dengan membeli bahan makanan yang cukup untuk seminggu, menonton acara komedi di TV, berolahraga, dan kadang menari.

Di hari keempat, Benio sudah mulai bisa tersenyum, mengobrol lebih leluasa dengan Ammar.

"Apa atasan kamu nggak keberatan kamu kerja dari rumah terus, Mar?" Benio bertanya saat dia menyediakan makan malam untuk mereka. Baru saja Ammar keluar dari kamar setelah bekerja. Karena hanya ada satu kamar di apartemen ini, siang hari Ammar menggunakan kamar agar konsentrasi bekerja, malam hari Benio yang tidur di situ dan Ammar tidur di luar.

Dia cukup bisa memahami dan menjaga diri untuk tidur terpisah walau keinginannya untuk tidur sambil memeluk Benio begitu tinggi. Tapi Ammar sadar diri, dia tidak bisa memanfaatkan kesempatan ini. Waktu-waktu saat Ammar tidur memeluk Benio hanyalah ketika Benio membutuhkannya.

"Dia mengerti. Yang penting pekerjaanku selesai," Ammar duduk di salah satu kursi. "Ngomong-ngomong, akhirnya aku cerita bahwa aku tinggal dengan kamu untuk sementara waktu, walau aku tak sebutkan alasannya."

Benio mengangkat kepala dari wajan.

"Hanya kepada Medi dan Mima." Ammar menambahkan.

"Oh." Benio pun maklum. Jika kepada pasangan itu, Benio bisa percaya. "Apa kabar mereka?"

"Kamu percaya kalau mereka mau menikah sebulan lagi?" Ammar terlihat bersemangat saat menceritakannya.

"Betulkah? Wah selamat!" Benio bertepuk tangan,

"Yeah, aku tidak bisa membayangkan rumah tangga mereka. Pasti berisik sekali."

Benio ikut tertawa. Suasana makan malam kali ini menjadi lebih riang atas berita baik tersebut. Bahkan Ammar akhirnya menelepon Medi atas permintaan Benio. Mereka mengobrol melalui telepon selama makan malam.

Ketika makan malam usai, giliran Ammar yang membereskan peralatan. Benio sudah bergerak ke depan televisi untuk mencari acara menarik yang akan mereka tonton.

"Ben, sebelum kamu menonton, aku punya sesuatu yang perlu aku sampaikan." Ammar tiba-tiba serius.

Benio pun ikut tegang. "Apa?"

"Sebentar," Ammar masuk ke dalam kamar, mengeluarkan laptop dan menyambungkan ke TV. "Ini aku dapatkan tadi siang."

Mata Benio terbelalak, melihat scan dokumen-dokumen yang ditampilkan oleh Ammar.

"Dari mana kamu dapat semua ini?" Benio tidak habis pikir. Bahkan berbulan lalu pun saat kasus kematian terjadi, Ammar bisa tahu hingga informasi perihal tersangka dan segala macamnya itu.

"Yah," Ammar menggaruk kepalanya. "Aku belum bilang ya kalau ayahku bekerja di Badan Intelijen?"

Benio menganga. Mulutnya terbuka selebar mungkin.
"Dan kamu juga?"

Ammar hanya menyeringai.

"Faktanya," Ammar berdeham, menggerakkan layar. "Dari dokumen-dokumen yang aku dapatkan, semuanya menunjukkan beberapa bukti perilaku menyimpang yang dilakukan Fauzan sejak anak-anak hingga remaja. Dari mulai bullying, pencurian, penyiksaan binatang, bahkan perusakan fasilitas umum. Dia rutin melakukan terapi bahkan hingga sekitar setahun lalu. Sewaktu usianya 14 tahun, dia pernah masuk ke panti untuk anak berhadapan dengan hukum."

"Ya ampun," Benio menutup mulutnya.

"Dia cukup pintar untuk menyembunyikan ini dari kamu, Ben," Ammar menatap Benio dengan prihatin. Pasti sekarang dia merasa ditipu. Sikap Fauzan sangat baik padanya, padahal dia menyembunyikan kebengisannya. Yang baru terlihat beberapa waktu lalu.

Benio tidak menanggapi, masih terkejut melihat data-data yang terpampang.

"Semua kasus yang terjadi diselesaikan dengan damai. Secara 'kekeluargaan' karena dia berasal dari keluarga kaya. Itulah kenapa kemarin pun dia tidak takut saat diancam dilaporkan ke Polisi. Keluarganya bisa menyelesaikannya dengan uang."

Benio memejamkan mata, berusaha mengingat-ingat apa memang ada perilaku Fauzan yang terasa aneh. Namun Benio tak menemukannya. DI matanya, Fauzan adalah pria beradab. Kecuali saat menamparnya dan menghancurkan pintu apartemennya.

Ammar mematikan televisi. "Sepertinya malam ini kita harus tidur cepat." Dituntunnya Benio ke tempat tidur. Dipastikannya Benio terlelap sebelum Ammar keluar dari kamar dan menutup pintu.

*** 

Latte Murder - END (WATTPAD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang