19 : Permintaan Maaf

279 40 13
                                    

Jeno telah mengemasi seluruh barangnya dan bersiap-siap pergi meninggalkan kantor yang telah menaunginya selama tujuh tahun itu. Tidak ada seorangpun yang bertanya kemana ia akan pergi karena mereka telah mengetahuinya. Sudah pasti ia dikeluarkan karena telah membuat keributan di dalam kantor. Beberapa rekan kerja Jeno masih datang menghampirinya untuk memberinya semangat sekaligus salam perpisahan. Setidaknya ia tidak menerima pengucilan disaat-saat terakhirnya seperti ini. Masih ada beberapa orang baik hati yang peduli dengannya.

Jeno melangkah keluar dari gedung Haru Group sambil memeluk kotak putih yang berisi barang-barangnya. Ia berhenti sejenak di depan pintu untuk mengamati kemegahan bangunan Haru Group. Perasaan kesal dan kecewa bercampur menjadi satu. Ia masih belum bisa menerima sepenuhnya hukuman yang diberikan oleh Hyunjin kepadanya.

"Kakak nggak mau kasih hadiah terakhir buat Ryujin sebelum pergi dari sini?" Jimin tiba-tiba datang menyapa Jeno sambil tersenyum penuh arti. Ia ikut memperhatikan bangunan Haru Group yang berdiri kokoh di hadapannya.

"Apa maksudmu?" Jeno mengernyit bingung, tidak mengerti dengan maksud ucapan Jimin itu.

"Ayolah, masa kakak nggak ngerti? Kakak punya bomnya, kan?" Jimin mengeluarkan ponselnya dari dalam tasnya lalu mengutak-atiknya sebentar sebelum menunjukkannya pada Jeno.

"Tinggal lemparkan saja bom itu ke dalam gedung ini. Kita hancurkan orang yang telah membuat kita seperti ini..."

💕💕💕

Ryujin sedang menunggu Minho yang sudah berjanji akan menjemputnya saat pulang kerja. Sayangnya bukan Minho yang datang, melainkan Hyunjin yang telah menghentikan mobilnya tepat di depan Ryujin. Hyunjin menurunkan kaca mobilnya untuk memanggil Ryujin masuk ke dalam mobilnya. Ryujin yang melihat itu langsung membelalakkan kedua netranya. Ia refleks mengamati sekitarnya, memastikan tidak ada orang yang melihat mereka.

"Apa yang bapak lakukan? Ini masih di kantor. Bagaimana kalau ada yang melihat?" ujar Ryujin dengan nada setengah berbisik. Ia tidak ingin suaranya menarik perhatian orang-orang yang melintas di sekitar sana.

"Ayo masuk."

"Kita langsung bertemu di rumah bapak saja," tolak Ryujin cepat.

"Masuk sekarang atau aku yang keluar untuk membukakanmu pintu." Ancaman itu sukses membuat Ryujin tak berkutik. Ia langsung masuk ke dalam mobil itu sebelum ada orang yang memergoki mereka. Begitu Ryujin selesai memasang sabuk pengamannya, Hyunjin langsung tancap gas meninggalkan tempat itu.

Ryujin mengirim pesan pada Minho bahwa ia akan makan malam bersama temannya sehingga laki-laki itu tidak perlu menjemputnya. Ia tahu sudah terlambat memberitahu hal itu pada Minho karena laki-laki itu pasti sedang dalam perjalanan. Namun, setidaknya Minho tidak kebingungan mencarinya saat ia tiba nanti.

"Kamu sedang menunggu jemputan tadi?" tanya Hyunjin setelah Ryujin selesai mengirim pesan pada Minho.

"Ya. Kakakku berniat menjemputku tadi," jawab Ryujin.

"Kakakmu masih tinggal bersamamu?" tanya Hyunjin kembali. Ryujin hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Ia sedang malas bersuara dan memilih mengarahkan pandangannya keluar jendela, menikmati pemandangan malam yang sudah menjadi santapannya setiap hari.

Hyunjin sesekali mencuri pandang ke arah Ryujin. Wajahnya tampak begitu lelah. Ia tahu hari ini cukup berat bagi Ryujin dan entah kenapa ia ingin sekali menghiburnya. Tanpa basa-basi, Hyunjin segera memperdalam pedal gasnya agar mereka bisa segera tiba di rumah.




"Duduklah. Aku mau masak sebentar," ujar Hyunjin pada Ryujin begitu mereka tiba di unit milik Hyunjin. Laki-laki itu berjalan mendahului Ryujin ke arah dapur untuk segera memasak menu makan malam yang sudah ia persiapkan sebelumnya. Ryujin menyusul Hyunjin ke dapur dan duduk di pantry.

Love ContractWhere stories live. Discover now