AWAL

307 115 26
                                    


Kenapa di tempat ini lagi?
Gelap tak bercahaya, hanya ada kesunyian yang melanda dan sangat dingin.

Aku mulai melangkahkan kaki dan berbelok ke arah jalan yang paling dekat dengan tubuhku.

Dan aku baru menyadari bahwa diriku tak memakai alas kaki yang membuat telapak kakiku sedikit sakit karena kerikil-kerikil yang hampir memenuhi tanah merah ini.

Pakaian putih lusuh dan tak lupa bercak merah pada dadaku yang terlihat seperti darah.

Di persimpangan jalan, aku melihat ke arah kiri dan terdapat sepasang kekasih yang sedang tertawa bersama.

Saat aku mulai mendekat, tawa mereka terhenti seketika. Hanya ada wajah bengis yang terlihat.

Senyumku mulai pudar, lalu membalikkan tubuh dan mulai melanjutkan langkahku.

Namun, kejadian ini mengingatkan diriku pada kedua orangtuaku.

Aku tidak memilih untuk hidup di keluarga yang tak harmonis karena masalah ekonomi. Tetapi entahlah lah, aku hanya menjalani takdir yang sudah ditetapkan. Berjalan dengan pundak yang menopang banyak hal dikesunyian. Bahkan tak perduli pada luka yang aku alami.

Aku hanya ingin menemukan arah yang tepat dari banyaknya jalan yang telah disediakan tepat di hadapanku.

Langkahku semakin pelan ketika mendengar isak tangis yang disertai rintihan. Dan aku membenci hal ini karena sangat menyakitkan bagi diriku. Bahkan saat ini, tubuhku sudah menyentuh tanah yang terasa sangat dingin.

Aku memeluk erat tubuhku sendiri diiringi cairan bening yang mulai membasahi wajahku, hingga hanyut kedalamnya.

Aku menghentikan tangisan ini saat mendengar suara tawa bahagia dari anak-anak kecil. Mataku mencoba mencari asal suara itu yang terdengar semakin keras. Karena tak tahan, aku menegakkan tubuhku lalu kembali melanjutkan langkah yang sempat tertunda.

Melangkah dengan pelan ke arah suara tawa yang aku dengar. Tetapi rasanya sangat berat untuk melangkah dengan cepat. Aku rasa butuh kesabaran lebih sedikit.

Aku menegang saat kaki kiriku terasa sangat dingin karena sentuhan tangan. Tubuhku benar-benar bergetar, tak berani menoleh ke belakang apalagi melihat ke bawah.

Aku terbangun dari tidurku dengan terengah-engah, pelipisku dibasahi oleh keringat yang terus saja mengalir.

Mendudukkan diri lalu melihat ke arah bawah, kenapa hal ini terasa seperti nyata.

Aku melirik jam digital di atas nakas, dan benar saja pukul dua lebih tiga puluh. Selalu saja seperti itu, kenapa aku selalu bermimpi seperti ini.

"Kapan berhenti?"

ALVITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang