TIRED

85 68 4
                                    

Aku masih memikirkan kejadian beberapa jam lalu hingga saat ini. Bahkan aku belum pernah memikirkan sesuatu hal hingga melupakan untuk membaca buku.

Mengingat wajah Garvi membuatku tersenyum bahagia, sangat tulus bila kalian bisa melihat senyumku. Aku benar-benar tak mengerti dengan semua ini.

"Mau gue anter ke rumah gak?" tawar Garvi yang membuatku menggeleng.

"Gue bawa motor kalau lo lupa"

Garvi berdecak, "Kan gue dari belakang lo, lagian barang dari nyokap gue lumayan gede.... lo bisa bawa?"

"Bisa lah, udah lah gue mau pulang dulu"

"Nanti jatuh gak? Gue takut lo gak ada duluan sebelum bales perasaan gue" ujar Garvi yang membuatku tersipu.

Sialan, kenapa gue salting sih.

"Ada lagi?"

"Lo gak boleh pergi dari hidup gue apapun penyebabnya karena gue yakin lo bisa ngelewatin semuanya" terang Garvi yang membuatku mengerutkan kening.

"Why should I do it?"

Kenapa aku harus mengingat bagian tersebut?

Tetapi aku juga memikirkan apa alasan Garvi melontarkan ucapan tersebut. Apakah karena sebenarnya lelaki itu hanya bermain-main terhadap diriku?

Astaga, memikirkannya saja sudah membuatku gagal lagi. Aku hanya berpasrah kepada Nya. sudah gagal dalam keluarga, gagal dalam percintaan, gagal dalam pertemanan dan apakah aku juga akan gagal dalam pendidikan?

Semoga tidak.

"Sialan apa lagi sih" umpatku karena mendengar suara ayahku sedang memaki.

Anjing!

Setelah keluar dari kamar dan melihat apa yang terjadi membuat diriku ingin teriak sekencang mungkin saat ini. Melihat rumah seperti kapal pecah padahal diriku sudah membersihkan semuanya sore tadi.

Mataku memerah menahan tangis sekarang, semuanya terasa sia-sia sekarang. Sudah lelah pulang dari sekolah lalu sampai rumah bebersih dan dengan teganya Ayah mengacaukan semuanya.

Dari ruang tamu mengalir air dari botol, gelas pecah piring berisi makanan tak habis yang sepertinya milik adikku juga pecah berserakan.

Ouh tak lupa jejak kaki ayam yang sepertinya sumber kemarahan ayahku. Sangat miris melihatnya.

Aku tak berani marah kepada ayahku karena takut. Jika kalian bertanya apa alasan diriku takut kepada ayah kandungku sendiri adalah aku juga tak tahu.

Karena yang pasti ada trauma yang membuat diriku menjadi seperti ini.

"Hp.... terus, gak lihat rumah masih kotor apa gimana? Enggak buta kan?"

"Cepet bersihin bukannya ngeliatin aja, gak lihat apa rumah sebelah bersih banget. Punya anak gak berguna!" lanjut ayahku dengan menggebu.

Aku hanya mengangguk dan menuruti perkataannya, karena diriku tak mempunyai kekuatan untuk menolak walau pada kenyataannya sudah aku bersihkan sore tadi.

Sepeninggalan ayahku, air mataku luruh begitu saja. Kenapa menjadi seperti ini?

"Ya Allah, aku lelah.... Kenapa malah jadi begini? Baru saja aku merasakan kebahagiaan di luar sana" lirihku terisak.

"Kakak okey?" celetuk Dina yang membuatku dengan cepat menghapus air mataku yang telah keluar.

Aku menggeleng lalu tersenyum untuk menutupi kesedihanku, "Fine, kamu siap-siap ngaji aja sana! Biar kakak yang beresin ini"

ALVITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang