TEMAN BARU

189 103 34
                                    

Menghela napas sejenak lalu berdiri, aku ke luar dari kamar menuju ruang utama di rumah ayahku. Tak lupa membawa secarik kertas yang berisi persyaratan untuk memasuki sekolahku yang baru.

Tak biasanya bagiku untuk duduk berdua dengan ayahku, apalagi ditambah melakukan percakapan. Aku sangat mengindari hal ini.

Setelah mendudukkan diri tepat di lantai yang hanya beralaskan karpet, aku menyerahkan kertas yang berada di genggamanku. Detak jantungku benar-benar berpacu dua kali lipat.

"Aku gak jadi di Blue Honesty High School Two tetapi di Single-Purpouse High School"

Ayahku menghela napas lalu meletakkan beberapa lembar kertas yang selesai dibaca.

"Terserah mau sekolah dimana yang terpenting kamu bisa membantu perekonomian keluarga ini" ujar ayah lalu menatapku dengan raut wajah tak terbaca.

Aku terdiam, dadaku terasa sesak sekarang. Aku tahu itu, dan ini alasanku untuk bisa melanjutkan studiku hingga kuliah nanti.

"Ayah lelah cari uang sendiri, sementara ibumu hanya diam di rumah. Menambah susah saja!"

Perkataan ayah membuat hatiku teremat, kenapa berbicara seperti itu di depan putrinya sendiri yang masih remaja. Bahkan ibuku bisa mendengarkan perkataan ayah karena posisi kamar tidurnya yang berada tepat di depan ruang ini.

"Kalau ayah tidak mau lelah, lebih baik bertukar peran dengan ibu. Atau tidak usah menikah saja"

Bibirku kelu saat menceloskan perkataan tersebut, bahkan sekarang ayah sudah menatap diriku tajam. Aku tak peduli.

"Jadi didikanmu seperti ini, gak punya adab dengan ayahnya!" ujar ayah lebih keras dan menyindir.

Lihat, bahkan ibuku hanya diam tak membalas. Selalu saja seperti ini. Air mataku yang hampir keluar tiba-tiba saja membeku, kenapa ibuku sangat kuat.

Ayah terkekeh melihatku, "Gak usah sok bijak jadi anak, perkaya dirimu lalu urusi wanita sialan itu juga adik-adikmu saja!"

Aku terdiam tak membalas, bibirku seperti terkunci erat saat ini.

"Motor akan ayah jual kalau kamu gak lanjut, bahkan jika perlu barang-barang di rumah ini sekalian dijual"

"Ibumu memang tidak punya otak, sudah tau ada anak yang butuh biaya banyak untuk masuk sekolah malah dibuat yang aneh-aneh tanpa berbicara terlebih dahulu pada Ayah" lanjut ayahku lalu kesunyian semakin melanda sekarang.

Memang benar, saat aku akan memasuki SMA adik keduaku lahir. Terlahir laki-laki, sesuai dengan keinginan kami semua.

"Sudah tidak berpenghasilan, malah menambah beban. Lihat tetangga sebelah, dua-duanya kerja!" desak ayahku.

"Punya otak tuh dipakai buat cari uang, jangan selalu bergantung kepada lelaki!"

"Wanita memang tak berguna!" tambah ayah setengah berteriak.

Aku hanya mengangguk lalu mengambil kertas yang sudah ditandatangani oleh ayahku. Langkahku menuju kamar tidurku, bahkan mataku benar-benar sudah mencair sekarang.

Hatiku semakin sesak sekarang. Walaupun sudah terbiasa mendengar perkataan yang menyakitkan dari ayahku sendiri, kenapa aku hanya bisa menangis.

Padahal aku ingin membela ibuku. Tetapi aku tak berani.

Selagi mereka belum bercerai, ibu akan teramat rendah di mata ayahku. Kenapa selalu perempuan yang menjadi sasaran?

Dan aku mengharapkan mereka berdua bercerai, bahkan sangat berharap ibu bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik dari ayah.

ALVITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang