| 7 |

3K 101 1
                                    

✿︎✿︎✿︎

Berisik. Batin Cindy.

Sayup-sayup Cindy bisa mendengar suara dua orang sedang berdebat. Semakin lama suara terdengar semakin keras seiring dirinya yang terbangun. Kemudian tangannya mencari sosok Will yang biasanya masih memeluk tubuhnya erat. Tapi kosong. Will sudah bangun?

Setitik rasa kehilangan menyeruak. Sudah satu minggu Will selalu memeluknya sepanjang malam hingga ia bangun duluan, Cindy mulai terbiasa bangun pagi dengan kehadiran Will yang masih mendekapnya. Rasanya ada yang kurang saat mengetahui Will bangun lebih dulu.

Perdebatan dua orang itu sekarang terdengar jelas. Pertanda kesadaran Cindy sudah kembali.

"Will, obsesimu tidak boleh berlanjut. Kalau dia tahu.."

Lalu suara dehem memperingatkan terdengar, pria pertama langsung bungkam. Akhirnya mereka berhenti membuat gaduh.

"Cin, kamu sudah bangun?"

Cindy mengucek matanya yang masih terlihat kabur. Ia perlu waktu beberapa detik untuk bisa benar-benar bangun dan sadar akan keadaan sekitar. Ternyata memang ada dua orang pria di dalam kamarnya.

"Tyler?" Cindy merasa aneh melihat Tyler sepagi ini sudah berada di kamarnya. Apalagi beradu argumen dengan Will. "Apa terjadi sesuatu?"

"Tidak, Cindy." Jawabnya cepat. "Permisi." Tyler membungkuk, lalu melangkah keluar secepat kilat.

"Cin, Will mau ikut Tyler dulu, ya?" Ucap Will lengkap dengan cengiran khasnya.

Cindy hanya mengangguk. Ia terkejut saat Will tak langsung keluar. Will mengecup pipinya singkat, lalu baru beranjak mengikuti Tyler. Cindy menggelengkan kepala. Merasa terkejut dan aneh, tapi otaknya tak bisa diajak kompromi. Saat pagi, otaknya seolah masih tidur dan belum bisa langsung berfungsi. Setidaknya ia perlu menyentuh air dan membersihkan diri.

Cindy merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Terutama bagian bibir yang terasa bengkak.

"Aww!" Jeritnya saat jari Cindy menyentuh bibir.

Perih.

Bibirnya bengkak dan perih?

Cindy segera menyibak selimut dan berlari ke kamar mandi. Begitu berada di depan cermin, matanya terbelalak tak percaya melihat pantulan wajahnya. Bibirnya sungguh bengkak.

Tak hanya itu, ada lingkaran besar memar di lehernya, lalu ada bekas seperti gigitan di bagian telinga. Apa yang sebenarnya terjadi saat ia tidur?

Cindy segera melepas kamisol yang menutup tubuhnya. Benar saja, banyak lingkaran lebam merah kebiruan di dadanya. Terutama di ceruk antara payudara Cindy. Pagi ini lebih parah dari hari-hari sebelumnya. Lebih tepatnya kali ini yang terparah.

Cindy tidak bisa lagi mengabaikan lebam dan memar di tubuh dan bibirnya. Ia tidak bisa lagi menganggap kalau dia digigit semut atau hewan lainnya. Cindy mulai khawatir kalau ia memiliki penyakit tertentu. Apalagi ia tidur dengan Will. Ia khawatir kalau penyakitnya akan menular.

Tanda-tanda di tubuhnya tak bisa diabaikan lagi.

Tapi setelah melakukan pengamatan lebih serius, kenapa lebam-lebam itu terlihat seperti hickey?

Tidak mungkin, kan?

✿︎✿︎✿︎

Cindy kembali berada dalam satu ruang dengan Henry. Kegiatan yang paling ia benci. Sejauh ini tidak ada hal aneh soal Will sehingga Cindy merasa tenang perihal laporannya. Ia tidak perlu mengemban rasa bersalah.

"Apa ada yang aneh dengan Will hari ini?"

"Tidak, Mr. Henry. Dia hanya memintaku menemaninya tidur seperti biasa." Cindy menyimpan mengenai memar di tubuhnya. Bagian itu Henry tidak perlu tahu.

Henry menyodorkan tabung kecil berwarna putih yang terlihat seperti botol obat padanya. "Tukar obat William dengan ini."

"Tapi.."

"Tapi?" Henry menatapnya tajam. "Apa kamu lupa siapa bosmu, Cindy? Aku, bukan William."

Cindy menunduk sangat dalam. Ini adalah hal yang paling ditakutkan Cindy. Henry akan memerintahkan sesuatu yang akan menyakiti Will. Kekhawatiran tersebut sekarang terjadi.

"Kamu pikir kenapa Tyler menyewa pengasuh? Kalau bukan karena ide dariku, kamu tidak akan mendapatkan uang sebanyak itu. Jadi, ingat Cindy, aku adalah bosmu."

Cindy segera mengambil obat tersebut. "Maafkan perilaku saya sebelumnya, Mr. Henry."

Henry tersenyum puas mendengar kalimat penyesalannya. Padahal dalam hati, Cindy mendengus melihatnya. Rasanya ingin sekali menampar pria yang berpuluh tahun lebih tua darinya itu. Sebut saja Cindy kurang ajar. Tapi pria seperti Henry memang tak pantas diberi penghormatan.

"Oke. Kamu bisa pergi."

✿︎✿︎✿︎

"Cindy, kamu sakit?" Will yang sedang sibuk membaca di sofa mendongak begitu melihat Cindy keluar dari ruang kerja Henry.

Penampilan Cindy memang terlihat seperti orang sakit karena ia mengenakan syal untuk menutupi lehernya. Pasalnya, memar di lehernya terlalu besar dan dalam hingga tidak bisa lagi ditutupi dengan Concealer. Untung saja tadi Henry tidak bertanya. Cindy mungkin akan kelabakan kalau sampai pria itu bertanya.

"Gak, kok." Balasnya singkat.

"Kenapa pake syal?" Entah kenapa Will terdengar kecewa.

"Dingin." Balas Cindy asal. Sedangkan tangannya berusaha menyembunyikan botol kecil yang ia genggam erat di belakang punggungnya.

Ia benci menyembunyikan sesuatu dari Will, tapi ia juga tak mungkin menjelaskan perkara Henry. Nanny Lenhart dan ibunya adalah taruhannya. Cindy tak bisa.

"Kenapa bertemu Uncle terus, sih, Cin?" Will selalu tidak suka melihatnya menemui Henry. Ini juga bukan pertama kali Will menanyakan hal serupa. Sejujurnya Cindy juga tidak suka, sayangnya dia tidak bisa menghindar.

"Tidak apa, Will." Jawab Cindy.

Jika yang bertanya tadi adalah Will dewasa, pasti pria itu tidak akan melepaskan Cindy dengan jawaban singkat semacam itu. Tapi yang di depannya adalah Will anak-anak. Tentu saja Will tidak bertanya lebih lanjut.

"Sebentar. Cindy mau ke kamar dulu, ya." Cindy menghampiri Will lalu mengacak rambut pirang pria itu, lalu segera beranjak.

Cindy tidak bisa menyakiti Will, tapi dia juga kesulitan mengelak perintah Henry. Lalu sekarang apa yang harus ia lakukan?

Sekarang Henry memerintahkannya perkara obat, lantas hal mengerikan apa lagi yang pria itu lakukan selanjutnya?

Cindy frustasi sendiri.

✿︎✿︎✿︎

Ramaikan dengan vote dan komen, yuk!

Biar Scarlett semangat nulisnya.

Obsess Me, Idiot! [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang