| 16 |

2.5K 55 1
                                    

Content Warning!!

Ada adegan kekerasan. Buat yang sensitif, please skip langsung part selanjutnya.

✿︎✿︎✿︎

"Aku pergi dulu."

Cindy yakin ia tidak salah mendengar. Will baru saja menggunakan kata 'aku.' Tidak seperti biasa. Bukan lagi kata 'Will.'

Selain itu, mengingat wajah Will pagi ini, ia merasa pria itu tidak lagi menunjukkan raut kekanakan.

Apa ada yang salah?

Tidak ingin larut dalam pemikiran yang terlalu muluk, Cindy segera beranjak bangun membersihkan diri. Ia menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit. Setelah itu, ia berniat mencari Will di kamarnya, tapi ternyata kosong. Saat turun ke lantai satu, wajah murka Henry menyambutnya. Sepertinya Cindy dalam masalah besar.

Cindy ingin mengalihkan pandangan tapi Henry tak berhenti menatapnya, otomatis ia menghampiri pria kejam itu sekalipun enggan. "Ruanganku, Cindy." Ucap pria itu singkat.

Cindy menurut, mengikuti langkah Henry dari belakang. Begitu mereka di dalam ruangan Henry langsung menamparnya keras hingga terjungkal ke belakang.

"Beraninya kamu, Cindy!"

"Apa maksud Anda, Mr. Henry?" Tanyanya terbata. Sudut bibirnya pasti berdarah karena rasanya perih.

"Tak usah berpura-pura. Kamu menukar obat William, kan?"

Henry tahu. Pria itu sudah tahu.

Wajah Cindy seketika pias terserang panik.

Nanny Lenhart. Wajah ibunya, Harriet, langsung terlintas di otaknya. Lalu, Will, apa yang akan Henry lakukan pada Will?

Cindy bukan wanita yang pandai memikirkan strategi, tapi ia harus mampu keluar dari situasi ini. "Obat? Saya sudah memberikan botol yang Anda berikan pada Will." Ia berharap aktingnya meyakinkan.

"Kamu pikir aku bodoh, hah!?" Henry menyentak dan menarik rambut Cindy ke belakang. Otomatis Cindy mengerang kesakitan. Ia tidak salah saat menyebut pria itu kejam. Tindakan Henry sekarang adalah bukti.

"Please, Mr. Henry. Lepas." Cindy berusaha menarik tangan Henry agar lepas dari rambutnya, tapi hasilnya nihil. Pria itu terlalu kuat.

Henry mendudukkan Cindy di kursi, lalu mengikat tubuhnya hingga tak mampu bergerak. Entah sejak kapan Henry memegang tali, Cindy tidak tahu. Yang jelas, sekarang Henry menatap hasil ikatannya dengan senyum puas.

"Kamu kira bisa lepas dari hukuman setelah menipuku, Cindy?"

"Saya tidak menipu Anda, Mr. Henry."

"Memangnya aku akan percaya." Henry berjalan mundur, mengambil sesuatu dari balik meja. Ternyata tongkat kayu berukuran panjang. "Rasakan ini!"

"Ah!" Cindy mengerang keras. Rasa sakit luar biasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Lengan kirinya terasa terbakar. Seumur hidup Cindy, belum pernah ada seorangpun yang memukulnya. Air matanya langsung mengalir deras.

"Berapa kali kamu menipuku, Cindy?"

Cindy menggelengkan kepala dengan cepat. Ia tidak bisa menerima pukulan kayu dari Henry lagi. Cukup satu kali, ia sudah seperti akan pingsan. Toleransi Cindy akan rasa sakit sangat kecil. "Please, jangan." Isaknya.

"Kamu menipuku di setiap pertemuan, Cindy." Ucapan Henry lebih pada pernyataan, bukan pertanyaan. Cindy terus menggelengkan kepala. "Kamu sudah tinggal sekitar tiga minggu, tapi kontrakmu satu bulan. Thirty, then."

"Tidak!" Teriaknya keras saat Henry mengayunkan kayu ke tubuh Cindy lagi. Kali ini lengan kanan Cindy. "Ah!"

Cindy terus berteriak kesakitan hingga suaranya serak. Henry tetap memukulnya lagi dan lagi. Cindy tidak tahu sudah hitungan ke berapa. Tubuhnya tak kuat.

Ia pingsan.

✿︎✿︎✿︎

Obsess Me, Idiot! [SELESAI]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora