"Papa lagi apa sendirian disini?"
Suara itu mengalihkan pandangan Keynal pada Aran yang baru saja duduk di kursi sebelahnya, hanya meja bundar sebagai pembatas di antara mereka. Melihat setelan formal yang masih melekat di tubuh Aran, Keynal sudah bisa menebak jika pria itu baru saja kembali dari kantor, "Lembur lagi? Papa kan udah pernah bilang jangan terlalu memforsir diri kamu sendiri, Aran." Keynal melirik jam di tangan yang hampir menunjukkan pukul 10 malam lalu menghela napas pelan, "Selain memikirkan perusahaan kamu juga harus memikirkan kesehatan kamu."
"Maaf Pa, tadi ada sedikit kendala yang mengharuskan Aran untuk sedikit lebih lama di kantor," Aran menjawab usai melepas jas dan hanya menyisahkan kemeja putih beserta dasi yang sudah di longgarkan. Napasnya berembus lirih, hari ini dan hari sebelum sebelumnya terasa begitu berat.
"Ada kendala atau memang kamu sengaja ingin pulang telat?"
Aran yang ingin meyisihkan lengan kemeja jadi terhenti saat Keynal berucap tepat sasaran. Aran diam tak bergeming, sampai usapan di bahu membuatnya mau tak mau menatap wajah seorang pria yang berperan penting dalam hidupnya. Untuk beberapa saat Aran terdiam, hatinya tersentak ketika sadar wajah itu begitu sayu dan menunjukkan ekpresi yang sejujurnya begitu asing di matanya. Keynal, pria setengah baya itu sedang tidak baik-baik saja.
"Kamu sengaja menghindari kami semua, kenapa? Kamu udah capek dengan semua drama yang terjadi di rumah? Apa menjauh membuat kamu nyaman, Aran?"
Aran menggelengkan kepala menyangkal apa yang barusan Keynal ucapakan, "Aku sama sekali gak ada niat untuk menjauh, sekalipun aku tertikam ribuan masalah aku tidak akan pernah meninggalkan kalian."
Keynal tiba-tiba saja menunduk, ia tidak sanggup menatap wajah penuh ketulusan itu. Entah apa yang membuat Shani tidak bisa merasakan tulusnya hati Aran ini.
Aran mengembuskan napas perlahan, sampai Pandanganya jatuh pada cangkir bening berisi kopi hitam pekat yang hanya menyisahkan ampasnya, "Kenapa Papa masih minum kopi disaat Mama udah pernah larang Papa untuk ngopi lagi," Aran mengangat wajah untuk menatap Keynal yang masih menundukkan kepala. Ketimbang memikirkan diri sendiri, Aran jauh lebih mengkhawatirkan papanya saat ini.
"Papa cuma ingin rilex, dan Papa pikir kopi bisa sedikit menenangkan pikiran papa dari masalah yang beberapa hari ini terjadi di rumah,"
"Tapi kafein itu akan mempengaruhi kesehatan Papa," Aran bisa menebak jika papa mertuanya itu meminum diam diam tanpa sepengetahuan istrinya, Mama veranda pasti akan marah jika tau Papa masih mengonsumsi kopi.
"Ran?"
Aran masih menunggu apa maksud Keynal memanggilnya dengan nada rendah. untuk pertama kalinya Aran menyaksikan Keynal begitu rapuh, pria dengan usia yang tidak lagi muda itu kini jauh dari katas tegas.
"Jika pernikahanmu dengan Shani begitu menyiksa tolong maafin Papa, disini Papa sadar begitu sangat egois memaksamu menjaga seorang perempuan yang tidak pernah ragu untuk menyakitimu," Keynal memejamkan matanya saat hatinya berdenyut sakit dengan kalimatnya sendiri, "Seharusnya Papa tidak begitu serakah untuk menjadikanmu seorang anak sekaligus menantu,"
"Pa, aku-"
"Jangan di paksa kalau emang udah gak bisa, kamu udah harus bahagia mulai sekarang."
Untuk beberapa saat Aran terdiam, mencoba perlahan menangkap maksud dan tujuan dari ucapan papanya. Setelahnya Aran malah tersenyum, ia menunduk menatap cincin perak yang melingkar di jari manisnya, cincin yang selalu menghiasi jemarinya sejak saat ia menikahi perempuan paling cantik di muka bumi ini, Shani Indira Natio.
"Aku tau Papa mulai ragu dengan hubungan kami, tapi bisakah sekali lagi Papa percaya kalau Aran mampu?"
"Ini bukan lagi soal percaya kamu mampu atau tidak Aran, ini soal kebahagiaan kamu sendiri,"
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY SHOULD LOVE [END]
Fanfiction"Bersamamu adalah kesalahan yang tidak pernah aku inginkan." "Apapun itu, kamu tanggung jawab aku mulai sekarang."