⊹ ventitré ⊹ ²³

16.4K 1.3K 23
                                    

Keadaan semakin runyam sekarang, mereka semua akhirnya memutuskan untuk pulang kerumah. Arjuna sudah memerintahkan seluruh bawahannya untuk mencari si bungsu Gavinandha.

Namun belum ada kabar apapun sampai saat ini, Anita tak berhenti menangis membuat mereka semua pusing.

Akhirnya Arjuna meminta bantuan pada keluarga besar Gavinandha. Beberapa jam yang lalu ia memberitahu Opa dan Oma apa yang sedang terjadi, dan keduanya langsung bergegas menuju kemari, mungkin besok pagi mereka baru akan sampai.

Elio? Anak itu hanya diam di kamar sedari tadi, ia sama sekali tak memperbolehkan siapapun untuk masuk. Dalam diam ia terus menyalahkan dirinya sendiri, ia terus menyalahkan hilangnya Ezra adalah karena dirinya.

Ia memang tak menangis seperti Anita, namun hati remaja itu sama hancurnya. Tatapannya kosong, pikirannya terus menyalahkan diri sendiri. Andai saja ia tak mengabaikan kedua lelaki mencurigakan yang berada di villa itu pagi tadi.

Ya, kejadian itu berlangsung pagi tadi sedangkan sekarang hari sudah menunjukan pukul setengah dua belas malam.

Dan Arjuna, dengan sangat terpaksa ia memberikan obat tidur dengan dosis rendah pada Anita agar wanita itu cepat tertidur. Bukan apa, hanya saja ia tak ingin istrinya terus menangis dan malah berdampak pada kesehatan wanita itu.

Setelah memastikan istrinya yang tertidur lelap, Arjuna bangkit menuju kamar anaknya. Ia mulai khawatir karena sejak tadi tak terdengar apapun dari kamar Elio.

Ia ketuk pelan pintu besar yang menjulang tinggi di hadapannya, "Abang, ini papa. Buka dulu, papa mau bicara."

"Besok aja, aku ngga mau ketemu siapa siapa dulu."

"Papa khawatir sama abang, tolong buka dulu pintunya."

Terdengar seperti kunci yang di putar dari dalam, begitu pintu terbuka Arjuna langsung masuk kedalam kamar anaknya.

Kamar yang biasanya terang dan penuh dengan irama musik, kini terasa sunyi dan gelap. Lampu tak Elio nyalakan, ia hanya mengandalkan terangnya cahaya dari bulan.

Klik

Terang, Arjuna langsung menyalakan seluruh lampu yang berada di kamar Elio. Ia duduk di kursi belajar Elio sedangkan sang pemilik kamar duduk di atas kasurnya.

"Abang kenapa belum tidur?" Arjuna mencoba membuka obrolan dengan sang anak.

"Dalam kondisi kayak gini, emangnya papa bisa tidur?"

Arjuna menghela nafas, jujur ia lelah. Namun mau bagaimana pun ia lah kepala keluarga di sini. Hanya ia yang bisa meyakinkan anggota keluarganya yang lain bahwa semua akan baik baik saja. Dan hanya ia yang bisa mereka harapkan.

Saat sedang asik dengan pikirannya sendiri, Arjuna di kagetkan oleh suara tangis Elio, suara tangisnya lirih membuat hatinya seperti teriris.

Dengan segera ia mendekat pada sang anak, ia menarik tubuh Elio masuk kedalam dekapannya.

"Ini semua salah abang pa, hiks."

"Enggak bang, jangan nyalahin diri sendiri. Ini bukan salah abang atau salah siapapun."

"Tapi harusnya abang hiks bilang sama papa hiks tentang dua orang itu." Arjuna mengusap punggung anaknya, ia kaget saat tahu ternyata anaknya malah menyalahkan dirinya sendiri atas hilangnya Ezra.

"Ezra bakal baik baik aja, percaya sama papa."

"Abang kangen sama hiks adek, Pa."

"Iyaa sayang, sabar yaa." Arjuna menyingkirkan poni yang menghalangi wajah anaknya, ia usap pelan air mata yang mengalir di pipi Elio.

Ezra, anak bungsu. [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang