Delima dan Takdirnya (3)

19.1K 1.1K 11
                                    

Pernahkan kalian berharap sebelum tidur? Mengharap sebuah keajaiban di pagi hari?

Aku selalu berangan-angan mendapat keajaiban sebelum tidur. Saat ini aku berharap pagi ini dia tidak akan bangun sebagai diriku yang sama selama ini dan menjadi sosok yang baru dalam dunia yang baru.

Padahal aku tau pasti semua itu tidak mungkin. Kecuali jika aku memang berani mengambil langkah besar dalam hidupku, yang pastinya mempunyai resiko yang besar juga.

Akupun sadar diri, aku tak mampu jika harus menanggung resiko besar. Aku tidak punya keluarga disini, hanya bapak, yang suatu saat nanti aku yakin akan meninggalkan ku juga dan kembali di keluarganya. Tidak akan ada yang membantuku jika sampai terkena masalah nanti.

Maka dari itu aku sebisa mungkin menghindari masalah, dan hidup senormal mungkin. Aku bahkan tidak punya banyak teman dekat satupun selama ini, hanya ratna tetangga sekaligus teman sekolahku semenjak SD. Sekarangpun jarang bertemu karna sama-sama bekerja. Hanya saja ratna bekerja menjadi sebuah buruh pabrik yang agak jauh dari rumah.

Aku juga tidak pernah berpacaran selama ini, jangankan berpacaran dekat dengan laki-laki saja tidak pernah.

Kata temanku dulu, banyak teman laki-laki ku yang menyukai saat disekolah, namun aku tak begitu menggubris mereka dan tetap fokus untuk bersekolah saja.

Di pagi ini walaupun harapanku terbangun sebagai sosok yang berbeda tidak terwujud, namun rutinitasku menjadi berbeda. Aku tidak perlu memasak hari ini karena aku jarang sarapan dan tidak ada bapak disini yang perlu kusiapkan sarapan.

Selesai bersiap untuk bekerja, aku lalu keluar rumah dan membuka gembok sepedaku, kukunci rumahku dan segera bergegas untuk bekerja

Kukayuh sepedaku menyusuri jalan sempit perkampungan tempat tinggalku, yang hanya bisa dilewati oleh 2 motor.  Jalan ini hanya sempit diberbagai titik saja, semakin kedepan jalan ini akan semakin lebar tepatnya jalan didepan masjid yang bisa dimasuki oleh mobil.

Dari kejauhan kulihat mas A’ang yang sedang mengeluarkan motornya dari pagar rumahnya. aku sengaja memelankan kayuhan sepedaku agar mas A'ang berangkat terlebih dahulu dan aku tidak perlu menyapa mas A’ang.

Gara-gara ucapan bang Emran kemarin membuatku bertekad untuk menghindari laki-laki disekitarku.

Sepedaku semakin mendekat, namun mas A’ang tak kunjung melajukan motornya. Membuat diriku akhrinya memberhentikan sepedaki sejenak dan turun untuk menuntunnya pelan-pelan saja.

Tanpa diduga mas A’ang malah menolehkan kepalanya kearah belakang dan menemukanku disana. Aku terkejut, lalu raut wajahku kuganti dengan senyuman ramah, karna sudah terlanjur ketahuan menatap kearah mas A’ang.

"Bannya kempes?"

Mas A'ang bertanya ketika aku dan sepedaku sudah berada didepan rumahnya. Kulihat matanya mengamati ban sepedaku dengan seksama, aku jadi gelagapan sendiri, harusnya aku naiki saja tadi sepedaku, dan ngebut saat dekat dengan mas A'ang.

"Eng__enggak kok Mas," jawab ku sedikit terbata, semoga saja mas A'ang tidak menyadari kegugupanku saat ini.

"Loh Delima kenapa Mas? sepedanya rusak dituntun gitu? rusak?"

Ternyata tak hanya mas A'ang saja yang berada didepan rumahnya saat ini. Bu Rosidah terlihat keluar dari dalam warungnya dengan kondisi yang berbeda dari kemarin tampak lebih segar.

"Eh ... enggak Bu, itu ...."

Aku kebingungan mencari sebuah alasan, tak mungkinkan aku menjawab jujur, bahwa anaknyalah penyebab aku menuntun sepeda ini.

"Kalo rusak, bareng Mas A'ang aja berangkat nya, masih searah kan? hari ini Ganis gak berangkat bareng."

Tawaran bu Rosidah bukan memberikan solusi, namun menambah kepanikanku yang membuatku buru-buru menaiki sepedaku untuk membuktikan, bahwa sepadaku ini baik-baik saja, dan tak perlu berangkat dengan mas A'ang.

Delima dan TakdirnyaOnde histórias criam vida. Descubra agora