43

912 83 99
                                    

Liburan sekolah telah usai kegiatan sekolah kembali berjalan seperti semula. Sebagian pelajar bahagia karena akan kembali sekolah dan sebagian lainnya malah tidak bahagia. Salah satu pelajar yang tidak suka sekolah yaitu Deva. Pemuda yang sering tawuran itu tidak menyukai akhir liburan sekolah.

"Liburan sekolah sebentar banget buat lama gitu," keluh Deva di depan cermin.

"Lho kok belum rapih?" tanya sang ayah Fahri.

"Pah aku malas sekolah!" rengek Deva.

"Papa izinkan kamu tawuran pulang sekolah," ujar Fahri.

"Wih seriusan!" pekik Deva senang.

"Iya asal kamu sekolah hari ini," ujar Fahri.

"Sebentar aku ganti baju dulu!" pekik Deva.

Deva berlari menuju ruangan ganti sementara Fahri duduk di kasur sang anak. Fahri akan menunggu Deva berganti baju duda itu berniat mengantarkan Deva sekolah.

"Malas meeting. Klien kali ini sedikit ribet aku sengaja saja terlambat agar batal kerjasamanya," ujar Fahri.

Fahri ada pertemuan dengan klien di salah satu restoran dekat sekolah Deva. Cuma karena klien tersebut dikenal menyebalkan membuat Fahri malas bekerjasama dengannya.

"Papa kerja yang bener dong!" pekik Deva tiba-tiba.

"Kau ini membuat ayahmu terkejut saja," ujar Fahri mengelus dadanya.

"Habisnya papa mau melepaskan uang. Padahal Deva masih perlu yang untuk foya-foya," ujar Deva.

"Enak sekali ucapanmu," ujar Fahri kesal.

"Aku kan anak ganteng papa satu-satunya," ujar Deva kepedean.

"Narsis amat," sindir Fahri.

"Sifat narsisku kan turunan dari papa," sahut Deva.

Fahri menatap malas sang anak. Deva malah cengengesan akan ditatap seperti itu oleh sang ayah.

"Uangmu itu masih disimpan papa," ujar Fahri.

"Tidak boleh digunakan olehku?" tanya Deva.

"Boleh saja. Papa akan memberikannya asal untuk hal yang bermanfaat," ujar Fahri.

"Ulang tahunku ke-18 boleh request tentang pesta ulang tahunku tidak?" tanya Deva ragu.

"Tentu. Kamu yang berulangtahun," ujar Fahri.

"Papa dan aku kan lahir di tanggal yang sama dan bulan yang sama. Jadi aku pengen banget berbagi kepada anak-anak di panti asuhan dengan uangku sendiri bukan pakai uang papa," ujar Deva.

"Hatimu baik sekali nak," puji Fahri.

"Papa saja seperti malaikat tanpa sayap," ujar Deva dengan senyumannya.

"Sudahlah. Ayo sarapan dulu!" ajak Fahri.

"Gendong!" pekik Deva merentangkan tangannya.

Fahri mendekat lalu berjongkok di depan Deva. Deva memeluk leher Fahri sangat erat. Mereka turun dari lantai dua kamar Deva menggunakan tangga. Rey yang telah berada disana hanya tersenyum tipis melihat pemandangan tersebut.

"Kuharap kedepannya kalian tetap menjadi pasangan ayah dan anak yang saling menyayangi satu sama lain," batin Rey berharap.

"Pikiran lu kagak traveling, Rey?" tanya Fahri.

"Lu berdua bapak sama anak. Pikiran lu suuzon banget," ujar Rey.

"Yah kan kebanyakan orang mikir kayak gitu," timpal Fahri.

"Terserah," acuh Rey.

Mereka bertiga sarapan bersama-sama setelah selesai Rey keluar duluan dibandingkan pasangan ayah dan anak. Fahri duduk di samping kursi pengemudi karena Deva ingin menyetir katanya. Deva fokus menatap jalanan kota Bandung yang lumayan padat wajar kegiatan sekolah dan kerja dimulai kembali.

"Papa!" panggil Deva.

"Kamu memerlukan sesuatu?" tanya Fahri.

"Makan siang nanti ke sekolahku dong," ujar Deva.

"Boleh saja. Kebetulan tidak ada meeting," ujar Fahri.

"Thanks my superhero!" pekik Deva senang.

Fahri tersenyum akan reaksi anaknya.  "Demi anak aku akan membatalkan sepuluh pertemuan hari ini," batin Fahri.

"Aku sepertinya tidak cocok dengan Sisi," ujar Deva.

"Tidak cocok karena apa?" tanya Fahri.

"Banyak hal. Aku malas menjelaskannya," ujar Deva.

"Yah terserah kamu saja. Papa hanya bisa merestuimu siapapun pendamping hidupmu kelak," ujar Fahri.

"Gadis miskin tidak masalah?" tanya Deva.

"Miskin hanya di mata manusia saja bukan berarti dia miskin kebaikan," ujar Fahri.

"Papa aneh selalu saja mendukung setiap keputusanku," heran Deva.

"Orangtua yang baik akan mengikuti segala keputusan anak yang sudah dewasa," ujar Fahri.

"Deva belum berumur 20 tahun," ujar Deva.

"Kedewasaan bukan diukur dari segi umur saja nak. Sikapmu belakangan ini sangat dewasa, bahkan saat papa koma kamu langsung dengan tegas bilang kamu pewaris perusahaan papa," ujar Fahri.

"Papa koma waktu itu aku sangat ketakutan tahu," ujar Deva.

Deva bercerita mengenai ketakutannya kepada sang ayah. Karena asyik bercerita tidak terasa tiba di sekolah Radeva. Sekolah miliknya Fahri sendiri.

Keluar dari mobil kedatangan Deva dilihat hampir seluruh siswa dan siswi. Deva acuh saja dia menerima uang yang diberikan sang ayah lantas mencium tangan kanan Fahri.

"Deva anak kulkas!" pekik Irsyad.

"Bang Irsyad jangan berkata seperti itu," ujar Atha.

Deva menghampiri Atha lantas menepuk kepalanya. Atha tersenyum akan perbuatan Deva terhadapnya. Irsyad malah kesal karena diabaikan oleh mereka berdua.

"Lu berdua kayak abang sama adek," ujar Irsyad.

"Atha paling muda wajar kuanggap adik," ujar Deva.

"Pulang sekolah gimana?" tanya Irsyad.

"Tawuran. Bokap mengizinkan," jawab Deva.

"Om Fahri tidak melarangnya?" tanya Atha.

"Tidak," ujar Deva.

"Liburan sekolah kemana lu berdua?" tanya Irsyad.

"Belanda," ujar Deva.

"Ke Surabaya aku ketemu kakek dan nenek," ujar Atha.

"Mending lu berdua bisa liburan. Gua kagak tidak bisa," keluh Irsyad.

"Kan bang Irsyad pas liburan sekolah sakit," ujar Atha.

"Fakta yang menyakitkan sekali," ujar Irsyad.

Deva berlalu pergi begitu saja tanpa pamit kepada kedua sahabatnya. Jadi mereka berdua harus mengejar Deva.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan bagi penulis agar semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Minggu 03 September 2023

Deva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang