Bab 1. Pertanyaan Keramat

188 74 66
                                    

“Saat seseorang sudah memasuki usia 21 ke atas, siap tidak siap mereka harus menebalkan telinga hanya demi mendengarkan pertanyaan ‘kapan menikah?’ dari keluarga dan orang terdekat seolah-olah itu adalah pertanyaan wajib yang harus mereka ajukan. Apalagi jika kamu hampir mendekati kepala 3!”

***

Suara panggilan telepon dengan suara nyaring tidak henti-hentinya terdengar dari dalam kamar luas penuh buku yang pemiliknya kini masih lelap tertidur. Jam di dinding sudah menunjukkan angka 10 lewat 15 menit, bahkan matahari pun sudah terbit tinggi.

Seorang wanita paruh baya yang sedari tadi mendengar jeritan telepon dari kamar putrinya pun segera berjalan menaiki tangga. Celemek bunga-bunga yang setiap pagi dikenakan masih melekat ditubuh beliau, di salah satu tangannya pun ada sebuah spatula yang lupa beliau taruh terlebih dahulu.

“GANTARI!” Jerit wanita paruh baya itu sambil membuka pintu kamar anaknya dengan keras.

Sedangkan sang anak yang ada di atas kasurnya masih tetap lelap tidur seakan tidak ada gangguan dari mana pun. Melihat hal itu tentu saja membuat beliau kesal. Segera saja ia melangkah maju mendekat ke sisi tempat tidur sang anak.

“Bangun neng! Sudah siang begini kok tidur mulu kamu!” omel Mama Gantari sambil memukul-mukul anaknya itu dengan bantal guling yang sudah terlepas dari pelukan Gantari.

“Hmmm,” erang Gantari masih tetap menghiraukan Mamanya.

“Neng, Neng, gimana mau dapet jodoh sih kamunya aja siang-siang begini bangunnya. Buruan bangun, mandi sana!”

Omelan sang Mama terus berlanjut hingga tiba-tiba Gantari menjerit kesakitan akibat lengannya dicubit dengan keras hingga terasa perih.

“AAAAAAA, ampun Ma, ampun!” pekik Gantari yang terpaksa bangun dari tidurnya. Dengan mata yang setengah terpejam Ia pun mengusap lengannya yang bekas dicubit itu, berharap dengan begitu rasa sakitnya berkurang. “Sakit loh Ma,” lanjut Gantari merengek bak anak kecil.

“Makanya kalau nggak mau dicubit buruan bangun. Perawan-perawan kok bangunnya siang. Malu tuh sama tetangga sebelah masih SMA tapi rajin bangun pagi bantu-bantu Ibunya!”

“Ya kan Mama tau kalau Gantari semalem harus lembur kelarin naskah,” balas Gantari.

“Naskah mulu kamu lemburin, lembur kasih Mama cucu kapan?”

“MAMA!” jerit Gantari kesal. Pagi-pagi begini dia sudah harus mendengarkan omongan nggak jelas Mamanya, bikin pusing saja. Eh bukan pagi lagi sih ini, tapi sudah siang.

“Udah deh, Mama balik ke dapur lagi sana,” usir Gantari kurang ajar.

Sang Mama di sebelahnya melotot memandang Gantari yang berani-beraninya mengusir Ibunya sendiri. “Kamu ya, sudah gede masih aja bandel. Buruan mandi setelah itu turun makan!”

“Hah!” Setelah Mamanya keluar dari kamarnya tanpa sadar Gantari menghembuskan napas lelah.

Gantari Ruby Diandra. Perempuan berusia 26 tahun yang harus menahan diri dari berondongan pertanyaan ‘kapan nikah?’ dan ‘kapan bawa calon ke rumah?’ yang datang dari keluarga dan orang-orang terdekatnya.

Belum lagi pekerjaannya yang sebagai penulis novel yang hampir seluruh karyanya bertema romantis. Pembaca dan bahkan orang-orang terdekatnya pun sampai heran dari mana Gantari bisa mendapatkan inspirasi atas semua karya-karyanya itu. Bagaimana bisa seorang jomblo sejak lahir menciptakan sebuah kisah romantis yang manisnya bikin banyak pembaca meleleh dan lumer?

Tapi bukannya setiap orang pasti pernah merasakan perasaan manis seperti sekedar suka atau kagum pada lawan jenis ya? Gantari yang meskipun jomblo sejak lahir, dia juga perah kok menyukai seseorang. Meskipun perasaan itu hanya sekedar suka biasa. Hanya dari sana saja ia sudah bisa mengembangkan imajinasi dan tidak lupa menciptakan perasaan cinta antara setiap tokohnya. Perasaan cinta yang sama sekali belum pernah ia rasakan dengan sungguh-sungguh terhadap lawan jenisnya di kehidupan nyata.

Oh My Duda!Where stories live. Discover now