Pacaran?

7K 432 22
                                    

"Jadi pacar saya, ya?" Tak ada kalimat pembuka dan penutup, tapi langsung pada intinya.

Rania.ingin.wafat.part dua.

Deg

Jantung Rania berdebar kencang. Dia membatu di tempatnya dan Awan pun terus menatapnya menantikan jawaban setelah benar-benar menyatakan perasaannya itu di kandang buaya.

Hening.

Buaya di danau pun seolah menunggu jawaban Rania yang masih terpaku di tempat itu sambil memegang kayu pegangan untuk umpan makanan buaya.

Tidak, dia tidak mungkin menerima Awan. Dia sudah berjanji pada dirinya untuk tak pacaran. Dia sudah berjuang menolak banyak pria selama ini. Dia harus kuat, pikirnya.

Lagipula dia tidak merasakan sesuatu yang spesial terhadap Awan. Pria itu hanya dianggapnya sebagai gurunya. Apa yang akan orang lain pikirkan jika dia terlihat berdua atau memiliki hubungan khusus dengan dosen apalagi dosen yang sangat menarik perhatian seperti Awan?

Tapi ... dia bingung cara menolak Awan.

"P-pak ... saya hanya mahasiswa biasa. Saya bahkan belum lulus." Dia mulai menyebutkan kekurangannya agar Awan berpikir kembali.

Awan menggeleng pelan. "Saya tidak peduli, Rania."

"Masih banyak mahasiswa yang lebih cerdas dan berprestasi, Pak."

"Saya tahu."

"Masih banyak yang lebih cantik dan sudah berkarier, Pak."

"Biarkan saja!" Pria itu bersikeras.

"Saya hanya mau Bapak sadar, bahwa kualitas seperti Bapak bisa mendapatkan yang lebih baik dari saya."

"Saya hanya mau kamu, Rania. Saya tidak peduli yang lain. Saya maunya kamu!" tegas pria itu membuat Rania malah panik.

Gawat. Dia ketakutan dengan sikap tegas Awan yang membuatnya kehilangan cara untuk menyampaikan maksudnya. Alhasil dia hanya sanggup terdiam.

Awan menatapnya lekat-lekat. "Rania? Percaya pada saya. Kalau yang kamu takutkan adalah omongan orang-orang di kampus, kita bisa sembunyikan dulu hubungan kita. Kalau yang kamu takutkan adalah saya, kamu harus memberi kesempatan kepada diri kamu untuk mengenal saya. Kalau kamu takut saya tidak adil dalam memberi nilai atau hal lain terkait perkuliahan, kamu harus tahu, saya sangat profesional dan objektif," ucapnya dengan suara pelan.

"Tapi, Pak ...." Rania kehilangan cara menolak Awan dengan halus.

"Apa pun, Rania ... apa pun akan saya lakukan untuk mendapatkan kamu. Kalau kamu menolak saya sekarang, saya akan mendekati kamu sampai kamu mau jadi pasangan saya." Dia terlihat tak main-main dengan ucapannya.

Rania terdiam lama di tempatnya sambil menunduk memandangi sepatu ketsnya, membuat Awan bertanya-tanya.

"Jadi?"

Bayangkan, Rania harus disukai oleh orang yang dia takuti dan dia tak tahu cara menolaknya. Tentu saja dia tertekan.

"Rania ... coba satu pekan saja dengan saya. Kalau kamu tidak menyukai saya, kamu bisa akhiri hubungan ini setelah satu pekan."

Rania semakin tak enak hati. Susah menjadi orang yang tak enakan, pikirnya.

"B-baik, Pak." Suaranya terdengar ciut. Hatinya sangat terpaksa dan tertekan.

Seketika senyum Awan mengembang. "Terima kasih, Rania. Jadi kita pacaran?"

Rania mengangguk ragu membuat dada Awan semakin dipenuhi kebahagiaan.

Pada akhirnya acara kencan itu berlanjut dengan status baru mereka, yaitu berpacaran. Meskipun masih harus menyembunyikannya dari orang-orang yang mengenal mereka.

"Saya pesan menu selain seafood," pinta Awan pada pelayan pria di sebelah meja itu.

Ya, mereka tengah makan siang di sebuah restoran seafood sesuai permintaan Rania saat ditanya tentang makanan kesukaannya.

Rania heran. "Bapak tidak makan seafood?"

"Saya alergi seafood."

Beberapa saat Rania tak enak hati. "Maaf, ya, Pak." Ekspresinya sangat bersalah.

Awan tersenyum tipis ke arahnya. "Tidak apa-apa, Rania. Anggap saja itu informasi tentang diri saya yang harus kamu ketahui."

Sejenak Rania malah terpana. Apa ini? Kenapa aura Awan sangat 'manusiawi' pada saat-saat seperti ini? Pikirnya.

Tak banyak yang mereka bicarakan, karena Rania baru tahu, bahwa Awan ternyata sedikit pendiam. Dia pun pemalu. Jadi pendiam bertemu pemalu, berakhir sedikit canggung. Sepanjang perjalanan pulang pun begitu. Tak banyak yang mereka bicarakan.

"Terima kasih untuk hari ini, Pak," ucap Rania begitu mereka sampai di depan rumahnya.

"Terima kasih juga, Rania."

Rania sedikit kikuk. "Kalau begitu ... saya masuk ke dalam, ya, Pak."

"Oh ... Rania?"

Rania yang hendak membuka pintu mobil itu kembali menoleh dengan gugup. "Iya, Pak?"

"Kalau sedang berdua, bisa saya minta kamu jangan panggil saya 'Pak' atau 'Bapak'? Maaf ... tapi kesannya kita seperti jauh sekali."

"S-saya harus panggil apa, Pak?"

"Apa saja. Kamu pikirkan saja dulu, ya?"

"Baik, Pak. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Awan masih tak beranjak dan melihat Rania sampai sosok gadis itu tak terlihat lagi di balik pintu. Tiba-tiba senyum tipisnya terbit. Dia sangat bahagia hari itu. Pertama kalinya dia kembali merasakan perasaan jatuh cinta dan rasanya sangat indah, pikirnya.

Tak lupa sesampai di rumah pun dia tetap mengirim pesan pada Rania.

Pak Dr. Ghazawan : Saya sudah sampai di rumah

Rania malah membaca pesannya sambil menggigit bibir bawahnya. Dia bingung harus membalas apa.

Rania : Baik, Pak

Pak Dr. Ghazawan : Saya baru ingat, lusa saya harus mengisi seminar di luar kota. Paling satu hari di sana, besoknya saya pulang. Jadi saya tidak ada di kampus sehari

Rania : Baik, Pak

Pak Dr. Ghazawan : Mau dibawakan apa nanti?

Rania : Tidak perlu, Pak

Pak Dr. Ghazawan : Kamu sukanya apa selain seafood?

Rania : Buku biografi dan sejarah, Pak

Pak Dr. Ghazawan : Oh, oke

Rania : Kalau Bapak sukanya apa?

Pak Dr. Ghazawan : Kamu

Rania.ingin.wafat.part tiga.

VS Mr. Killer (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang