Awan, Diana, dan Rania

5.6K 323 14
                                    

Awan keluar sebentar dari ruangannya saat istirahat siang. Dia berdiri di balkon lantai dua untuk mencari udara segar. Tak sengaja manik hitamnya melihat ke bawah tepat ke arah taman dan mendapati Rania dan Kinta tengah berbincang dengan teman-temannya sambil menenteng draf skripsi masing-masing.

Rania tampak bercerita sambil sesekali tertawa pelan menampakkan gigi ratanya. Tampak sangat manis. Tak sadar Awan ikut tersenyum.

Waktu cepat sekali berlalu. Tak ada yang tersisa dari hubungan mereka. Dia berakhir dengan orang lain dan pasti meninggalkan luka yang sangat dalam untuk gadis itu, pikirnya.

Sebenarnya Awan dan Diana tak memiliki kisah seperti Awan dan Rania. Diana memang sangat tertarik dengan Awan sejak Awan masih menjadi mahasiswa S1 dari ayahnya yang sering berkunjung ke rumahnya. Maklum pria itu adalah mahasiswa cerdas kesayangan dosen.

Dia bahkan ingin bekerja di kampus yang sama dengan Awan lantaran menyukai pria itu secara diam-diam.

Namun, sekuat apa pun Diana memberikan sinyal, Awan tak pernah menangkapnya. Dia hanya menganggap Diana seperti adiknya. Alhasil Diana membujuk ayahnya agar membantunya untuk dekat dengan Awan.

Awan masih sangat ingat saat Profesor Idris datang menemuinya dan berkata, "Wan? Apa anak perempuan dari garis keturunanku gak cukup baik untuk jadi pendamping hidupmu?" Itu bukan lagi sindiran, tapi pernyataan jelas.

Awan tentu tak dapat menolak lagi saat itu, lantaran menganggap penolakannya seperti menghina Profesor Idris. Guru besar yang cukup terkenal dan berpengaruh di almamaternya serta sangat berjasa dalam hidupnya.

Pada akhirnya dia memutuskan dekat dengan Diana. Awalnya dia berat hati, tapi saat dijalani, dia malah menyayangi Diana. Wanita itu sangat baik hati dan punya banyak alasan untuk disayangi, walaupun sampai saat ini hatinya belum benar-benar melupakan satu perempuan. Ya, Rania Aulia Reta.

"Rania? Kamu tidak akan hilang dari hati saya sejak pertemuan pertama kita, tapi saya izin menyimpan namamu di sisi yang lain agar menyisakan tempatmu untuk orang yang seharusnya.

"Saya sadar, memang baik menikahi orang yang kita cintai, tapi lebih baik mencintai orang yang kita nikahi. Saya memilih berdamai dengan diri saya dan keadaan ini untuk berhenti memaksa apa yang memang bukan untuk saya. Kita sudah dengan hidup masing-masing yang tak seharusnya dihancurkan dan menjadikan orang lain sebagai korban karena perasaan cinta kita yang dipaksa bersama. Semoga suatu saat kamu mengerti," batin Awan. Manik hitamnya menatap lurus ke depan. Tepat pada awan yang berarak di atas langit sambil bertanya-tanya, apakah Rania akan sulit melupakannya karena selalu melihat awan?

Tak sengaja Rania pun mendongkak ke atas tepat pada saat Awan pun kembali menatap ke arahnya. Pandangan mereka bertemu. Rania mengangguk hormat dan Awan pun membalasnya dengan anggukan hormat sebelum Rania buru-buru menundukkan pandangan. Pertama kalinya mereka saling menyapa walaupun hanya dengan anggukan hormat. Seperti menandakan perdamaian sekaligus perpisahan.

"Mas? Ayo makan siang." Awan menoleh dan mendapati Diana sudah ada di sampingnya dengan senyum simpul.

Awan membalas menatap perempuan itu dengan senyum mengembang. Sosok perempuan yang akan dicintainya dengan baik. "Sayang? I love you."

"Oh ... kenapa tiba-tiba, Yang?"

Keduanya berpandangan dan tertawa kecil bersama. Pemandangan itu hanya bisa disaksikan Rania dan Kinta dari bawah. Melihat mereka yang tengah berbahagia di atas sana. Seperti tak terjangkau sama sekali.

Kini rasanya sudah berbeda bagi Rania. Tak seperti dulu yang sangat terluka, dia sudah lebih menerima meskipun sedikit sedih. Perkembangan yang cukup baik, pikirnya. Tinggal menunggu semuanya menjadi biasa saja.

***

Agar tak terlalu galau, Rania memilih menyibukkan diri dengan banyak kegiatan. Tak hanya mengerjakan skripsi, dia pun membantu mengajar di lembaga les milik Sukma, les menulis dan latihan menulis saat akhir pekan.

"Aku baru tahu Rania bisa sedih seperti waktu itu. Aku ngerasa khawatir, tapi dia gak pernah mau cerita," ujar Darmawan di seberang meja. Dia sangat sedih saat Rania terlihat sangat stres, sedih, dan sakit, tapi anaknya itu justru tak ingin terbuka apa pun padanya.

Dia sedang menemui Sukma lantaran sedikit heran pada saudaranya itu, karena Rania lebih terbuka dan banyak menghabiskan waktu di rumah Sukma daripada pulang ke rumahnya.

"Rania memang gak terlalu terbuka, Bang cuma dia banyak cerita kok sama aku."

Darmawan penasaran. "Oh ya? Cerita apa aja?"

"Coba Abang tanya aja sendiri sama Rania. Abang pernah gak nanya Rania maunya apa? Apa yang terjadi sama Rania? Apa yang dia rasakan? Dia hanya manusia biasa Bang, dia bisa terluka juga dengan banyak hal di sekitarnya. Jadi kehadiran Abang sebagai orang tua sangat penting untuk dia. Jangan sampai Abang, mohon maaf, hanya menuntut dia untuk menjadi ini dan itu yang membuat dia semakin tertekan meskipun di tempat yang seharusnya membuatnya nyaman dan merasa pulang. Rumah."

Darmawan termenung lama. Dia baru sadar, bahwa dia memang tak pernah menanyakan kepada putri-putrinya tentang apa keinginan mereka.

"Tanya juga apa dia bahagia? Menurut aku, percuma Bang membuat bahagia keluarga besar tapi anak kita sendiri gak bahagia. Abang mungkin dipuji oleh keluarga besar, tapi kehilangan putri Abang."

"Kamu pasti mempengaruhi dia tentang mencari kebahagiaan di luar profesi guru, kan?" Darmawan tak suka.

"Aku gak mempengaruhinya, tapi Abang seharusnya tahu, apa dia mau atau gak meneruskan tradisi keluarga. Tradisi ini baik bahkan sangat baik, tapi kalau tradisi ini udah menjadi wajib bahkan gak memberikan pilihan kepada anak-anak yang tumbuh dalam keluarga besar kita, maka harus berapa banyak anak lagi yang dikorbankan kemerdekaannya dalam memilih? Abang coba pikir sekali aja berada di posisi Asma, Hanin, dan Rania. Bagaimana kalau Abang diperintah untuk melakukan sesuatu yang gak Abang inginkan?"

Darmawan tak berkutik.

VS Mr. Killer (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang