11

7.2K 585 27
                                    

Noted; pelan-pelan aja bacanya ya!

Ada flashback yang nggak aku beri tanda.

•••

”Bagi korek, El.”

Jenggala mengulurkan pemantik warna biru yang sebenernya kepunyaan Ladit. Di susul Roman, Ransi, Rizki dan Ladit mereka duduk di kursi melingkari meja dimana pandangan depan mereka mengarah ke pantai.

”Ada masalah ya? Pada tegang amat,”

Keenan melirik ketua KKN kelompok temannya itu, Roman mengedikan bahu sebelum Keenan bangkit dari sana sembari menenteng sebatang rokok. Ransi tengah memakan ciki yang ia bawa dari posko, Ladit yang tidak tau apa-apa sempat bertanya-tanya pada temannya itu.

”Yang tau permasalahannya aja belom keluar kamar,”

”Baru tidur anaknya...,” ujar Putia muncul dari arah belakang mereka. Ia menduduki kursi bekas Keenan dan melirik Jenggala yang menaikkan dua alisnya ke atas.

”Tapi, dia udah makan kan, put?” tanya Rizki.

Putia mengangguk merasakan sesuatu menimpa bahunya dengan singkat, ia harus menahan nafas beberapa detik ketika bibir dan hidung Jenggala mendarat disana. Putia tidak bisa berbuat banyak dengan skinship dari pria yang duduk di dekatnya ini.

Bisa gak sih gak usah di depan temen-temen juga?

Putia malu!

”Udah kok,”

Sebelum menceritakan semuanya, Putia menarik nafas dan menghembuskan secara perlahan menahan kelima satu persatu kelima pria di depannya ini. Ia menerawang obrolannya dengan Sisi, dimana gadis itu mengatakan semuanya sembari menangis.

”Sebenernya ada apa?”

Tanpa basa-basi, Putia masuk ke dalam kamar dan melihat Sisi tengah membuka sepatunya. Ia menjatuhkan diri ke ranjang, menutup wajahnya menahan sesuatu yang ia tahan sedari tadi.

Putia mendekat dan memeluk Sisi mengusap bahunya.

Saat seperti ini, Putia bahkan melupakan sikap Sisi yang arogan saat pertama kali mereka berada di Maluku. Putia tidak ingin Sisi menyimpannya sendirian saat ia hanya satu-satunya teman perempuan yang ada disini.

Perubahan drastis Putia rasakan, saat Sisi beberapa hari menginap di rumah pak Kades dan kembalinya ke posko, gadis itu lebih banyak diam jika hal-hal tak penting dan akan lebih banyak bersama Rizki yang notabenenya pria itu tidak menyukai Sisi sebelumnya.

”Gue takut sama dia, put.”

Suara Sisi serak akibat tangis yang sedari tadi ia keluarkan, Putia masih diam menunggu kalimat berikutnya yang akan gadis itu keluarkan. ”Dia pernah diem-diem masuk ke kamar setelah gue tidur.”

Sisi mengangkat kepalanya dari pelukan Putia, mengusap wajahnya yang basah. ”Si?”

”Gue takut sama dia makanya gue mau tidur di posko, seenggaknya gue aman sama kalian. Gue takut.”

”Tapi lo gak sampe di nakalin, kan?”

Sisi terdiam beberapa detik dan menggelengkan kepala.

”Jujur!” desak Putia mencengkram lengah Sisi. Tidak kuat, namun berhasil membuat Sisi tercekat.

”Gue di ancam, put.” jawabnya.

”Bilang sama gue, lo di apain, Si?”

Sisi terdiam beberapa saat dan mengangkat kepalanya yang semula tertunduk. Putia membuka jas Almamaternya dan beranjak. ”Inget, Si. Temen cewek lo disini cuma gue doang. Yakin gak mau cerita?”

Hai, Jengga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang