Bab 38

880 69 0
                                    


"Nonik itu dekat banget sama Mbak Air, Bu." Mbok Asih menutup kran air, lalu menyerahkan sebaskom bayam kepada Fira.

"Mau sedekat apa pun mereka, Akar itu enggak bisa sembarangan milih istri. Bisa ngamuk kakeknya," gerutu Fira. "Lagi pula, Nonik ini masih terlalu kecil untuk bisa menilai seseorang. Bisa saja perempuan itu baik di awal, begitu sudah dapat apa yang dia mau, dijahatin juga anak sama cucuku. Enggak bisa. Enak saja."

Fira melengos begitu melihat Mbok Asih yang semula sudah membuka mulut tapi tiba-tiba diam. Dia pun kembali melanjutkan memasak. Diambilnya bayam dari baskom sayur lalu dimasukkannya ke panci berisi air, jagung manis, bawang putih, dan kunci. Perempuan itu berjalan menuju ke Mbok Asih yang kini mulai membersihkan daging ayam.

"Saya itu, nyuruh Akar menikah maksudnya bukan terus sembarang orang dipacari. Setidaknya cari yang kayak almarhum istrinya. Vanya itu cantik, pintar, baik, dan yang terutama keluarganya jelas. Keluarga Tedjaprakarsa itu sahabatan sama keluarga Tenggara. Wajar kalau dulu Papa ngotot Akar nikahi Vanya. Bibit, bebet, bobotnya sudah tidak perlu diragukan lagi. Pasangan itu, kan, harus sepadan." Fira mengambil ayam yang sudah bersih, membawanya mendekat ke racikan bumbu yang sudah dia siapkan.

"Tapi Mbak Air itu juga baik kok, Bu. Makanya Nonik sayang banget. Apalagi Mas Akar dan Mbak Air juga sudah kenal lama, jadi kayaknya Mas Akar sudah tahu banget pacarnya itu bagaimana," ucap Mbok Asih lagi. Kali ini nadanya terdengar sangat hati-hati.

Fira terdiam, bahkan paha ayam yang dipegangnya belum juga dia masukkan ke campuran bumbu dan susu. Sesaat dia teringat kata-kata Akar soal keinginan menikahi seseorang pilihannya bertahun yang lalu. Perempuan itu menghela napas, kemudian menyerahkan bahan makanannya kepada Mbok Asih.

"Mbok, teruskan masaknya. Ayamnya direndam bumbu dan susu dulu lalu masukkan kulkas. Sayur bayamnya jangan dibiarkan lama. Habis itu Mbok masak gurami asam manis buat Akar." Dia melepaskan sarung tangan plastik dan celemek, kemudian bergegas menuju kamar yang dia ditempati.

Fira buru-buru menyahut ponselnya. Di otaknya sudah terpampang orang yang akan dia hubungi. Namun, lima panggilan tidak terjawab tampil di layar ponsel membuatnya mengalihkan ide yang sudah membuncah di pikirannya. Dua panggilan dari Fendi, sedangkan tiga panggilan dari Amel. Merasa ada sesuatu yang mengganjal, Fira balas menelepon Fendi.

"Astaga, Mbak Fira. Dari mana saja, sih? Om Candra aku bawa ke rumah sakit!" Suara Fendi terdengar bergetar dari seberang sana.

***

Akar tercenung usai menerima telepon dari Fendi. Belum tuntas dia bicara banyak hal kepada Air soal rencana dan keinginannya menikahi perempuan itu, belum sempat pula dia bertemu dan meminta restu kepada Bapak dan Ibu, berita yang disampaikan Fendi seolah-olah menyekat segalanya. Seperti tali besar yang membelenggu, dan memakan puluhan jam untuknya bisa kembali berlari.

Pandangan Akar menerawang. Tidak bisa diungkiri, ada kecemasan yang menggelayuti sanubari. Namun, di sisi lain, dia merasa seperti dipelanting ke tanah. Segala angan yang disusun kembali terberai.

Dia hanya ingin menikahi perempuan ini. itu saja. Namun, kenapa selalu ada kendala. Kenapa seolah hidup mempermainkannya, bahkan sejak dulu. Sejak pertama kali niat itu terencana di kepala.

"Kenapa?" tanya Air sembari meletakkan pisau rotinya. Sorot matanya penuh tanya. "Ada masalah?"

Akar menyimpan ponsel ke sakunya. Pria itu lalu berjalan mendekat kepada Air di meja makan. Ditatapnya perempuan itu lekat-lekat. Rasanya ada sebongkah batu besar yang menyumpal tenggorokan, membuatnya kesusahan mengungkapkan apa yang ada di pikiran. Yang ada justru munculnya ketakutan. Ketakutan yang entah kenapa tiba-tiba berdesak di benak.

Setelah berdetik-detik diam, akhirnya Akar kembali bersuara. "Aku harus pulang ke Surabaya."

"Urusan kantor?" tanya Air.

Akar menggeleng. "Kakekku masuk rumah sakit. Serangan jantung."

Kedua tangan Akar mengelus lengan Air. Matanya mengupayakan keyakinan buat dilahap sosok yang berdiri berhadapan. "Aku cuma sebentar. Aku pasti pulang ke sini. Aku mau bicara dulu sama Bapak dan Ibu."

Perempuan itu menggeleng. "Pulang saja dulu ke Surabaya. Ngomong sama orangtuaku bisa setelahnya. Soal kita bisa nanti-nanti."

"Tapi—"

"Mas," potong Air. Seutas senyuman tersungging di wajahnya. "Jangan buru-buru mikir soal kita. Ada yang lebih mendesak sekarang."

Ketakutan itu nyata. Sebab dia menangkap redup binar mata Air. Sebab dia merasakan kekecewaan seperti menguar dari lakunya. Air memalingkan muka, tangannya mengambil pisau roti, lalu diletakkannya lagi. Dia berjalan menjauh mengarah ke dapur. Dia tidak kembali bicara. Seketika, bukan hanya ketakutan saja yang ada, melainkan kebimbangan yang menggunung di benaknya.

***

Ada semacam tembok tinggi yang dibangun oleh Air semenjak perpisahannya dengan Akar bertahun yang lalu. Rasa sakit hati yang begitu sulit dia lupakan, meskipun si pelaku sudah cukup menunjukkan penyesalan dan berusaha menebus kesalahan.

Tembok itu pernah lesap oleh kehadiran Nami yang jadi alasan mereka kembali dekat seperti sedia kala. Pertemuan demi pertemuan yang berujung pada terajutnya kembali hubungan yang lama hilang pun barangkali penyebab Air tak menemukan lagi tembok itu. Namun, kini rasanya tembok itu seperti menunjukkan kembali eksistensinya. Pembatas yang menjulang itu ada, dan akan selalu ada tanpa ia duga. Entah apakah akan benar-benar sirna? Entah sampai kapan ada pembatas di benaknya. Mungkin saja sampai segalanya jelas. Sampai tidak ada lagi keraguan, atau takut kehilangan.

Perempuan itu menatap langit-langit kamar, sembari terus berupaya memejam. Ini sudah terlampau larut untuk sekadar memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk soal hidup. Namun, ketakutan masa silam memang tidak bisa disasap begitu saja. Dan kemudian, yang bisa dia lakukan hanya memeluk diri, membisikkan kata semangat dan menyisipkan keyakinan.

Mereka akan baik-baik saja. Akar tidak akan lagi meninggalkannya. Dia menyayangi Nami, begitu pula gadis keci itu.

Air bergerak dari rebah. Diambilnya ponsel yang semula dia letakkan di atas meja rias. Dia mengetuk ruang penyimpanan foto dan video. Dilihatnya foto-foto yang berjajar di sana. Momen-momen penuh ceria yang terekam kamera. Momen kebersamaan yang diingini seterusnya.

Ucapan Akar tadi siang diingatnya benar-benar. Sebelum pulang, dia berpesan kalau dia mesti percaya. Akar bilang kalau dia tidak perlu takut ditinggalkan seperti dulu. Akar bilang mereka hanya perlu menunggu sebentar lagi. Sedikit lagi.

Segalanya dia simpan dalam hati. Air menghela napas panjang. Benaknya berupaya menenangkan diri. Membabat keraguan, membesarkan kepercayaan. Semoga saja begitu. Sedikit lagi.

Repeat, I Love You! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang