Bab 44

858 59 2
                                    

"Enggak mau," rengek Nami ketika Fira hendak menyuapkan bubur kepadanya. Perempuan itu menghela napas panjang lalu meletakkan piring ke atas nakas. Anak itu tetap telentang di kasurnya sembari menutup mulutnya rapat-rapat.

"Terus Nami mau makan apa? Kamu belum boleh makan yang aneh-aneh, lho, Nik. Ayo, tah, biar cepet sembuh."

Anak itu tetap menggeleng sambil memalingkan muka dari omanya. Tak lama, anak itu menoleh ketika pintu kamar inapnya dibuka dari luar. Sosok pria membawa sebuah boneka beruang besar yang menutupi wajahnya masuk. Kemudian, ketika mendekati ranjang, ia memiringkan kepala di samping boneka sembari tersenyum lebar.

"Papa." Nami tersenyum lebar dari atas kasurnya.

"Kok buburnya enggak dimakan? Padahal Papa sudah belikan boneka baru buat hadiah." Akar mencebik, kemudian meletakkan boneka di ujung ranjang dekat kaki Nami.

"Hadiah?" tanya Nami, bersemangat meski tampak lemah.

"Hadiah kalau Nami mau makan banyak, biar cepat sembuh." Akar mencubit hidung anaknya, pelan.

"Mama enggak ngerti harus rayu anak kamu pakai model apa lagi." Fira mengangkat kedua tangannya, lalu beranjak.

"Nik, Oma pulang dulu. Kamu kalau enggak mau makan, nanti enggak sembuh-sembuh, loh. Nginep terus di rumah sakit. Enggak bisa sekolah, enggak bisa les gambar lagi. Mau?"

"Biar aku yang bujuk Nami, Ma. Mama istirahat saja di rumah." Fira memandang putranya itu. Cara ia memandang Akar menyorotkan keraguan. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, tapi harus berpikir berkali-kali lipat untuk berbicara dengan anaknya.

"Kar ...." Fira menoleh ke Nami yang kini sudah bermain dengan boneka kelinci sembari terbaring lemas, lalu kembali menatap Akar.

"Mama mau bicara," tuturnya, mendahului Akar berjalan keluar kamar.

"Papa antar Oma sebentar, ya." Akar mengelus dahi Nami, kemudian mengekor mamanya.

"Kenapa, Ma?" tanya Akar, menutup pintu kamar.

Fira menekan-nekan telunjuk dengan ibu jarinya. Ia sedikit gusar, seperti tidak yakin hendak mengatakan sesuatu kepada putranya itu. Akar yang sudah bersiap mendengarkan ucapan mamanya kian heran.

Alis kanannya naik. "Kenapa, Ma? Kok malah diem."

"Waktu Nami suhunya tinggi, dia sampai mengigau." Fira memalingkan wajahnya, "dia manggil-manggil Tante ...."

Fira tidak melanjutkan bicaranya. Ia pun tak menunggu tanggapan Akar. Perempuan itu berbalik, kemudian berjalan menuju pintu keluar. Akar yang ditinggalkan sendirian di koridor ruangan Nami tercenung, memandang punggung mamanya menjauh. Ketika ia tak lagi bisa melihat tubuh Fira, ia menoleh ke kaca persegi panjang di pintu kamar Nami, memandang anak itu dari luar.

"Selamat malam, Pak. Saya mau ganti infus Nami," ujar perawat wanita di sampingnya, memaksanya tersadar dari lamunan.

"Silakan." Ia membukakan pintu bagi perawat itu, mempersilakannya masuk terlebih dahulu. Menyakukan kedua tangannya ke saku celana, Akar berjalan pelan sembari tersenyum, saat pandangannya bertemu dengan sorot mata lemah Nami. Anak itu tersenyum meski binarnya tidak secerah biasanya.

Suara perawat yang mengajaknya berbicara membuat Nami tak lagi memandang papanya. Kegiatan perawat yang mengganti infusnya jadi pemandangan menarik bagi Nami.

"Sudah selesai. Tangan kiri Nami, jangan banyak digerakkan, ya. Suster keluar dulu," katanya ramah.

Tak lama, kemudian perawat itu keluar membawa peralatan yang tadi ia bawa, juga kantong infus lama, sembari tersenyum kepada Akar. Nami menoleh ketika papanya duduk di bangku di dekatnya.

Repeat, I Love You! (Tamat)Where stories live. Discover now