Bab 45

1K 68 1
                                    

Sepanjang malam tadi, Air tak mampu memejamkan matanya. Usai percakapan yang tak lebih dari sepuluh menit dengan Akar yang mengabarkan soal kondisi Nami. Sepanjang malam itu pula, ia bukan cuma mengkhawatirkan Nami semata. Rasa rindunya semakin keras kepala. Namun, keinginannya seperti berbanding terbalik dengan rasa ragu yang masih menyelimuti dirinya ketika berbicara soal keluarga Tenggara.

Air menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia mencoba berkonsentrasi dengan pekerjaannya di pagi hari. Namun, bayangan Nami dan Akar begitu menyita. Menjuntai, menutupi kewarasannya.

Ia meraih ponsel yang ia letakkan di belakang kalender, kemudian mengirimkan pesan kepada Puspa.

Ia meraih ponsel yang ia letakkan di belakang kalender, kemudian mengirimkan pesan kepada Puspa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.




Puspa tak lagi membalas pesannya, dan Air kemudian meletakkan ponsel itu di atas tumpukan kertas-kertas.

"Ir, nanti kita makan di luar?" Puspa berdiri membawa segelas air mineral. Begitu Air mengiyakan ucapannya, perempuan itu kembali ke ruangannya. Untuk hal itu, Air benar-benar bersyukur memiliki teman seperti Puspa. Ia tahu porsi dan perannya sebagai sahabat.

Air masih terdiam memandang ke pintu meski Puspa tak lagi di situ. Ponselnya kembali bergetar. Membuat Air menoleh ke arah benda pipih itu. Sebuah pesan masuk. Akar.

Air menggigit bibir dalamnya, menghalau tanda rapuhnya mengucur dari kelopak. Ia menengadah, mengatur napas, kemudian ketika tak lagi mampu menahan emosi, ia beranjak ke luar ruangannya.

Ponselnya ia genggam, layar nyalanya masih menampilkan pesan dari Akar. Ia seperti berdiam diri di ujung jalan, yang hanya berjarak beberapa meter dari jurang. Ia harus melewati itu kalau mau melanjutkan lagi perjalanan. Tapi, bagaimana ia harus melewati jurang? Sedangkan ia tak punya alat-alat pengaman.

Pandangan Air menerawang ke jalanan di depan kantornya. Ia bimbang memutuskan. Apakah dengan berbalik arah, jalan hidupnya tak pernah berlubang atau kembali menemukan jurang?

"Apa pun konsekuensinya," gumamnya, sembari mengetikkan pesan di layar ponsel.

"Kok di luar, Ir?" Suara atasannya membuyarkan lamunannya. Ia menoleh ke pria itu. Air mendekat ke Galih, sedikit ragu.

"Tadi habis terima telepon dari keluarga saya. Hmm, Pak, apa saya boleh mengajukan cuti selama beberapa hari?"

"Untuk kapan?"

"Besok?"

***

Beruntungnya Air karena memiliki hubungan baik dengan semua karyawan MJN, ia tak perlu memohon-mohon berlebihan biar atasannya mengabulkan permohonan ijin mendadak yang ia sampaikan kemarin. Meski pada akhirnya ia tetap harus mengerjakan pekerjaannya jarak jauh, setidaknya rekan-rekannya membuat segala sesuatu jadi lebih mudah.

Ia berjalan sedikit tergesa di terminal kedatangan Bandara Juanda Surabaya. Namun, kemudian langkahnya melambat ketika ia melihat sosok pria dengan kemeja batik dan pantalon gelap, menyakukan kedua tangan di kantong celananya. Pria itu berdiri tegap, beberapa meter di depannya.

Repeat, I Love You! (Tamat)Where stories live. Discover now