Prolog

58 47 18
                                    

Di malam yang dingin ini ia berjalan sendirian, sangat kontras dengan orang orang yang sedang menikmati malam minggu bersama para kekasihnya.

Dengan kaki jenjangnya yang dibalut celana jeans panjang dan sneakers yang membalut kedua kakinya ia terus melangkah tak tentu arah, sampai pada kursi taman yang kosong ia pun mendudukan dirinya disana. Matanya menelusuri setiap penjuru taman, meskipun suhu malam ini terasa dingin menusuk kulit tapi itu tak mengubah suasana taman ini yang hangat dipenuhi jiwa jiwa kasmaran para remaja.

Ia menghela nafas untuk yang kesekian kalinya, harusnya ia pun sama seperti mereka menikmati malam minggu ini berdua dengan kekasihnya, tapi lagi lagi janji mereka harus tiba tiba batal karena keperluan mendadak laki laki itu, padahal ia sudah menyiapkan diri dari beberapa hari yang lalu karena mereka sudah lama tak menghabiskan waktu berdua.

Menatap suasana taman ini yang riuh dengan senyumnya yang cerah namun sendu, perasaan sesak itu hadir lagi. Ia tahu laki laki itu berbohong, meskipun ia berusaha menyangkal setiap pikiran buruk dan kata kata orang yang menyadarkannya, ia berusaha untuk tetap percaya pada kekasihnya. Tapi sepertinya tuhan memang ingin menyadarkannya, tepat di depan sana di bawah lampu taman yang temaram ia melihat laki laki itu sedang bercanda tawa dengan gadis lain dengan tangan yang saling bertaut.

Dengan perasaan sesak ia terus menatap dua insan yang saling dimabuk cinta itu, tak segan tangan kekasihnya menyampirkan helaian rambut gadis itu yang menjuntai menutupi setengah wajah cantiknya dengan senyum manis yang memabukan dan itu menjadi salah satu alasan ia mencintai laki laki itu sampai sekrang.

Senyumnya yang manis selalu mampu menenangkan hatinya yang gelisah kala mendengar berita berita buruk tentang hubungannya yabg sedang diujung tanduk.

Ia menghela nafasnya lagi mencoba menguatkan diri, kemudian ia bangkit dengan sisa tenaga yang ia punya untuk menghampiri kedua insan itu.

"Bim." Panggilnya dengan suara serak yang tercekat berusaha menaham sesak yang ingin keluar.

Keduanya menoleh terkejut dengan kehadiran orang yang tak pernah mereka sangka intensitasnya disini.

"Ra...kamu," laki laki itu sama tercekatnya dengan Aura hingga ia kesulitan mengeluarkan suaranya.

"Katanya mau hunting sama abang kamu." Ujar Aura menyuarakan alasan laki laki itu ketika membatalkan janji mereka. "Abang kamu berubah jadi cewek kah?." Tanyanya sarkas tapi masih tak mendapat jawaban dari keduanya.

"Jawab Bima." Seru Aura sedikit menyentak.

"Sorry."

Mendengarnya Aura hanya mengelos pelan dari sekian banyak kata, mengapa Bima hanya mengucapkan itu. Seakan ia membenarkan apa yang ada dalam pikirannya yang berusaha keras ia sangkal.

"Kenapa gak jujur sih Bim." Ucap Aura lirih dengan kepala yang tertunduk.

Melihat itu Bima maju mendekati kekasihnya merangkul pundak perempuan yang hatinya ia patahkan. Aura mendongak saat merasakan Bima mengusap bahunya, dapat Bima lihat mata perempuan itu berair yang seketika membuat hatinya mencelos, kenapa ia begitu tega menyakiti perempuan cantik dan baik ini.

"Maafin aku Ra." Ujarnya lirih.

Lagi

Aura mulai jengah dengan kata maaf laki laki itu, kenapa Bima tidak mencoba menyangkal pikiran buruknya. Kenapa ia tidak bilang bahwa mereka hanya kebetulan bertemu di taman ini. Kenapa?

Apakah semuanya memang sejelas itu?

Bima menduakannya.

Apakah sejelas itu?

"Kamu bisa gak sih jangan minta maaf terus, aku mau denger kamu jelasin semuanya. Apa yang aku pikirin semuanya gak bener kan?."

Bima terdiam lagi, apa yang harus ia jelaskan. Kenyataanya semua yang gadis itu pikirkan adalah kebenarannya.

Cinta di Kala Senjaजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें