ENAM

250 17 1
                                    


Penawaran Nureka tempo hari masih bercokol terus di dalam pikiran Vanilia. Gadis itu melihat kalender yang menggantung di dinding. Hari ini adalah batas akhir penawaran tersebut dan besok juga hari terakhir pembayaran uang semester, tetapi sampai saat ini belum ada uang yang terkumpul.

Vanilia menggelengkan kepalanya terus menerus setiap iblis di dalam dirinya mendesak gadis itu untuk mengambil tawaran Nureka.

Nggak!!!

Memangnya Vanilia gadis apaan, hah? Dia gadis baik-baik. Siapa yang menjamin kalau permintaan pria itu tidak akan aneh-aneh, hm? Bisa saja, kan, Vanilia disuruh mengerjakan seratus soal kimia organik? Atau dipaksa pergi ke tempat seram? Bagaimana kalau Vanilia nantinya diminta untuk mengedarkan barang haram? Yang paling mengerikan adalah bagaimana jika dipaksa untuk melayaninya di ranjang?

Kepala Vanilia seketika pening.

Ia bertekad tidak akan menerima penawaran apalagi permintaan nekad pria itu.

"Van ... lo ngapain bengong di depan kamar? Nggak kerja?"

Panggilan Fio membuat lamunan Vanilia tadi buyar seketika. Gadis gembul itu baru datang dari parkiran kos. Penampilannya cukup rapi.

"Bentar lagi, nih. Gue mau ngambil cucian dulu di rooftop," balas Vanilia. "Baru datang dari kampung?"

Fio membalas dengan anggukan kepala singkat.

Dari semua mahasiswa yang tinggal di kos ini, mungkin Vanilia satu-satunya orang yang tidak pulang kampung karena memilih bekerja. Toh selama di kampung ia juga tidak akan membantu banyak malah justru akan menambah pengeluaran uang makan ibunya.

Sejak jauh-jauh hari sebelum liburan tiba Vanilia memang sudah berencana tidak akan pulang dan mengabari tentang rencananya itu kepada ibunya. Beruntung, wanita yang melahirkannya itu sangat mengerti.

"Nih oleh-oleh buat lo." Fio menyerahkan beberapa bungkus kripik tempe kepada Vanilia.

Vanilia menerima dengan cengiran lebar. "Lo tahu banget sih kesukaan gue. Jadi pengen cium lo, deh." Vanilia bergerak ke arah gadis itu sambil memajukan bibirnya. Tidak lupa juga ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

"Apaan sih Van!!! Awas lo dekat-dekat, ya! Gue tabok, nih!"

"Semakin dilarang gue malah semakin nafsu, nih, cium pipi lo," goda Vanilia disertai dengan kekehan jahilnya.

Fio perlahan mundur dan melesat kabur menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Aksinya yang terbirit-birit itu membuat Vanilia terkekeh. Fio memang anti banget dicium apalagi oleh sesama jenis. Minusnya lagi, Fio itu punya kelemahan di bagian leher. Gadis itu selalu bergedik geli jika ditiup pada bagian itu. Makanya baik Vanilia maupun teman yang lainnya suka sekali menggoda Fio.

Tawa Vanilia mereda begitu benda pipih di kantong celana miliknya bergetar. Ia merogoh saku dan mendapati kontak ibunya ada di layar. Senyum mengembang menghiasi wajahnya. Vanilia lantas kembali ke kamar dan melupakan niat awalnya sejenak demi melepas rindu pada ibunya.

"Halo Bu," sapa Vanilia begitu bokongnya mendarat di kursi belajar.

"Halo Sayang ... bagaimana kabarmu, Nak? Kamu nggak kerja?"

Sayup-sayup Vanilia mendengar suara orang-orang yang tengah menawarkan dagangan. Ibunya pasti masih di pasar.

"Sayurnya belum habis, ya, Bu?"

Alih-alih menjawab, Vanilia lebih tertarik dengan keadaan ibunya di kampung.

Wanita di seberang sana terkekeh. "Lagi sedikit, Nak. Namanya juga jualan, kadang laris, kadang seret. Kamu gimana di sana? Pertanyaan Ibu belum dijawab. Kamu kapan mulai kuliahnya? Lagi seminggu, ya?"

Seketika perut Vanilia rasanya seperti diremas oleh sesuatu begitu mendengar suara ibunya yang bersemangat ketika menanyakan apa saja yang berhubungan dengan kuliahnya.

Vanilia menjawab dengan suar lemah, "iya Bu." Rasanya gadis itu menjadi anak durhaka karena telah membohongi surganya.

"Ayah kamu jadi ngasi uang bekal, kan?"

Vanilia langsung meringis dalam hati. Jangankan memberikan uang jajan, membayarkan uang sekolah sebagai bentuk tanggung jawab kepada anak kandungnya saja tidak pernah. Pria itu malah mementingkan anak tiri yang bukan darah dagingnya.

Meskipun demikian Vanilia tidak mungkin mengadu. Ia hanya tidak ingin membuat ibunya sakit hati, kepikiran lantas jatuh sakit. Ia juga tidak ingin memicu pertengkaran di antara mereka, mengingat ibu tiri Vanilia sangat benci kepada ibunya.

"Sudah, Bu. Satu juta."

"Sudah sadar rupanya pria itu. Kalau dulu Ibu nggak maki-maki dia mungkin sampai mati dia tidak akan ingat dengan kewajibannya. Besok-besok kalau kamu menikah jangan pernah mencari pria seperti ayahmu."

Vanilia mencebik.

Menikah? Kata itu tidak pernah terlintas di otaknya.

Jangankan menikah, Vanilia sudah tidak ingin berhubungan dengan pria mana pun lagi sejak diselingkuhi oleh Theo.

Percakapan mereka pun akhirnya berakhir setelah Vanilia berkata akan bersiap-siap berangkat kerja. Selama pebincangan barusan, ia mendapatkan jalan keluar untuk masalahnya. Ia akan meminjam dulu pad abos kafe tempatnya bekerja. Senyumnya mengembang sempurna. Ingatan tentang tawaran Nureka pun mulai tidak Vanilia pikirkan lagi. 

Love With Benefit ( TERBIT)Where stories live. Discover now