Delapan

266 19 0
                                    


Vanilia masuk ke kamar, lalu membanting pintu dengan keras hingga menimbulkan suara debuman yang keras. Dadanya bergerak naik turun dengan napas yang tersengal-sengal setelah menampar Theo barusan dan berlari meninggalkan pria itu.

Dada Vanilia penuh sesak. Semua perkataan Theo barusan masih menempel di telinga hingga menyebabkan indra pendengarannya panas.

Berulang kali Vanilia menggelengkan kepala, bermaksud meyakinkan pikirannya bahwa semua ucapan Theo itu hanya pemantik dari kekecewaan pria itu atas penolakan dirinya. Namun, saat Vanilia memaksa ingatannya kembali ke masa lalu, ke waktu saat semua teman di kelasnya sempat memberikan tatapan mengejek hanya karena selera pakaiannya yang tidak sama dengan mereka membuat Vanilia sedikit meyakini apa yang dikatakan Theo benar adanya.

Tidak hanya itu, perlakuan teman sekelasnya hanya akan berubah menjadi baik saat ada tugas. Setelahnya, mereka kembali ke wujud semula seolah bantuannya itu tidak berarti apa-apa. Pernah suatu ketika, Vanilia mendengar segerombolan gadis di kantin pernah membicarakan keputusan Theo yang dinilai sangat jelek dan tidak masuk akal setelah menjalin hubungan dengannya.

"Jangan-jangan, Kak Theo diguna-guna, lagi?"

Begitu kata seorang mahasiswi waktu itu. Kebetulan Vanilia tidak sengaja duduk di dekat mereka.

Vanilia hanya mencebik sembari geleng-geleng kepala. Dunia sudah canggih. Mereka juga adalah calon-calon sarjana yang harusnya lebih menggunakan otak dan cara ilmiah, bukannya malah mempercayai takhayul seperti itu.

Awalnya, Vanilia juga tidak menyangka kalau Theo yang terkenal sebagai salah satu mahasiswa tampan di kampus ternyata menyimpan perasaan suka yang sama seperti dirinya dan menyatakan cinta kepadanya. Sempat terpikirkan oleh Vanilia apa yang membuat Theo kepincut kepadanya padahal banyak gadis cantik seantero kampus yang mau berpacaran dengannya. Pertemuan dan intensitas mereka untuk bertemu pun tidak banyak.

Awal mulanya mereka bertemu karena satu kelompok saat orientasi mahasiswa dulu. Kali kedua, tidak sengaja bertemu di tempat foto kopi-an. Ketiga, di parkiran fakultas MIPA.

Namun, karena perasaan suka Vanilia yang begitu besar terhadap pria itu bahkan sejak pandangan pertama, ia mengabaikan sinyal peringatan otaknya. Gadis itu menerima pernyataan cinta Theo dan mereka resmi berpacaran.

Dan malam ini, ketika Theo mengucapkan langsung dari bibirnya bahwa selama ini hanya memanfaatkan Vanilia tentu memukul dengan telak hingga membuat gadis itu linglung. Syukur saja Vanilia sempat memegang pagar besi untuk menahan beban tubuhnya yang hampir terjatuh.

Amarah dalam diri Vanilia bergejolak. Keinginan untuk membalas perbuatan pria itu mendominasi pikiran gadis itu. Dengan gesit Vanilia mengambil ponsel dalam tasnya, lalu menghubungi kontak yang muncul di otaknya. Hanya itu satu-satunya cara yang terlintas.

Pada deringan ke tiga panggilannya diterima.

"Saya sudah membuat keputusan. Kita bisa bertemu di mana?" Suara Vanilia terdengar lantang dan tegas.

"Baik ... saya segera ke sana." Begitu panggilan diputus, Vanilia keluar dari kos. Ia tidak peduli hari sudah malam.

***

vanilia mendongak ke atas, menatap gedung apartemen yang tingginya seperti mampu menembus langit. Saking takjub akan pemandangan itu, kepalanya hampir saja kaku karena terlalu lama melihat.

Tidak ingin membuang waktu lama, Vanilia langsung melangkahkan kakinya ke dalam dan menyebutkan tujuannya ke sini pada satpam yang berjaga.

Sebelum ke sini, Vanilia telah mendapatkan informasi mengenai lantai dan nomor apartemennya.

Love With Benefit ( TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang