ㅤ ㅤㅤ ㅤ𝗳𝗲𝗯𝗿𝘂𝗮-𝗿𝗮𝗶𝗻

190 125 99
                                    

Ini seperti hari biasa pada awal bulan Februari di Golden Rock, Bodieland.

Langit suram dengan rintik-rintik hujan berjatuhan ke atas tanah. Cuaca sudah tidak asing lagi bagi beberapa orang yang tinggal di Bodieland. Termasuk lelaki bernama Shaga. Dia suka membayangkan cuaca seperti sungai yang selalu berubah. Beberapa hari belakangan ini tidak menyenangkan, terasa gelap dengan guntur yang mengerikan dan hujan yang terbuat layaknya peluru. Berbeda di hari-hari sebelumnya. Cuaca sepenuhnya tenang dan damai dengan sedikit sinar matahari yang menghangatkan.

"Tunggu!" Shaga menoleh ke individu yang terengah-engah, menyaksikan sahabatnya itu tersandung di belakang. Dia memukul cabang pohon yang menggantung rendah di tengah jalan. Shaga tersenyum kecut seraya berkata, "sorry bro, gue pikir lo nggak punya masalah soal mendaki. Dilihat-lihat dari pertumbuhan hutan ini, kayaknya emang cocok buat hiking daripada jalan santai. Tapi kenapa lo sampai keseret akar pohon kayak gitu!" Shaga mencibir sahabatnya yang sedang kepayahan bergerak karena tersangkut. Shaga menahan tawa dengan kedua telapak tangannya.

Noah memutar matanya, ia langsung berdiri sembari mengibas asal celananya. "Anjir, jangan remehin gue. Gue tau kok jalur hiking modelan gini." Noah berkata sembari membusungkan dadanya ke depan. Jelas-jelas jika lelaki bernama Noah itu tidak pandai dalam hal mendaki. Buktinya saja, ia berjalan melewati perangkap akar pohon. Lalu kakinya tersangkut di akar besar pohon-dan langsung jatuh ke atas tanah.

Shaga mengeluarkan tawa kecil, menarik Noah dengan bisepnya sebelum ia menarik dirinya ke atas batu berukuran lebih kecil-ketika mengulurkan tangannya pada Noah. Keringat menetes di kulit putih Noah. Tak perlu banyak hal untuk membuat lelaki itu berkeringat. Jika kalian menyalakan pemanas hingga lima puluh derajat di musim dingin, Noah akan tenggelam dalam keringat. Dia selalu menyalahkan kalian karena tidak sepenuhnya mengerti pada dirinya yang sangat sensitif.

Kini, Shaga berbelok ke arah sebuah gerbong kereta yang ditinggalkan. Berbagai macam kereta tampak berkarat dan sebagian besar warnanya tersembunyi oleh seni tag dengan desain yang eksplisit. Kata-kata umpatan dan bahasa vulgar memenuhi dinding-dindingnya. Shaga melipat lengannya di depan dada, sudut bibirnya sedikit melengkung ke atas. "Sebenarnya, ngapain lo ngajak gue ke sini?" Shaga menoleh ke arah sahabatnya.

"Gue ngajak lo ke sini karna gue bakal ngelakuin sedikit penandatanganan buat fans gue."

Shaga melepaskan sebuah ransel Jansport dari pundaknya secara paksa-sehingga benda itu terjatuh di depan kakinya. "Huh? Maksud lo?" Shaga bertanya.

Noah menyeringai sebelum mengeluarkan beberapa kaleng cat semprot. "Maksud gue, kita akan menandatangani gerbong kereta yang ditinggalkan ini. Gue bakal buat benda besar ini jadi dinding graviti." Noah melempar sebuah kaleng pada Shaga sebelum ia menutup ritsleting ransel Shaga.

"Noah," panggil Shaga. Netra cokelatnya mengalir menatap sepanjang kaleng. "Lo tahu, kita nggak bisa buat dinding gravitasi cuma pakai dua kaleng."

Noah terkekeh sambil mengibaskan rambut dari matanya. "Tenang, gue bawa lebih."

"Apa yang lain bakal gabung sama kita?" Noah menggelengkan kepalanya. "Kali ini cuma gue dan lo. Partner in crime," celetuk Noah nyengir.

Shaga berjalan ke gerbong kereta tak bernyawa yang berkarat. Kereta telah diam sejak puluhan tahun dan tidak tersentuh selama beberapa tahun sebelum dinodai oleh segudang seni bertema dewasa. Mereka terjepit di antara gerbong kereta ke sisi lain di mana lebih banyak kanvas kosong terlihat. "Apa yang bakal kita gambar?"

Noah meletakkan jarinya di atas bibir saat ia melihat kereta yang sudah dilapisi dengan seni tag lainnya. Lelaki itu menjawab, "gue pikir gue bakal gambar sebuah pesawat luar angkasa yang gede." Noah menatap Shaga sekilas, "lo sendiri? Apa yang bakal lo gambar?"

⨾ ⠀𝐂𝐀𝐒𝐓𝐑𝐀 𝐍𝐎𝐂𝐓𝐄Where stories live. Discover now