ㅤ ㅤㅤ ㅤ𝗽𝗲𝗿𝗺𝗶𝘁𝘀

139 127 79
                                    

"Orang tua gue nggak bisa dihubungi, jadi kayaknya gue bakal izin ke Tuan dan Nyonya Matsuda," jelas Noah.

"Bagus! Artinya kalau mereka bilang ya, ada dua orang yang siap bergabung," kata Januar.

Jaden menyarankan. "Kenapa kita semua nggak bilang ke orang tua kita, kalau kita bakal pergi..." Ucapan lelaki itu terhenti sejenak, berpikir. "Hari ini hari apa?"

"Minggu," jawab Eric.

"Gimana kalau kita bilang, kita pergi di hari Selasa dan kembali pada Selasa depan," usul Jaden. Mereka semua saling memandang untuk melihat apakah mereka keberatan dengan rencana yang sedang berjalan, atau tidak.

Ketika tidak ada yang menentang. Davin berkata, "kalau nggak ada yang keberatan dengan rencananya... ya kita bakal mutusin seperti kata Jaden tadi. Gimana?"

Delapan orang lainnya mengangguk setuju sebelum Shaga memimpin mereka keluar dari kamarnya, ke pintu depan. "Ya udah, kalau gitu tinggal cek obrolan grup aja ya guys!"

"Iya! Jangan lupa ajak teman-teman yang lain biar ramai!" seru Noah sumringah.

"Tentang apa itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Tentang apa itu. Sayang?" Shaga menoleh untuk melihat ibunya setelah menutup pintu dan bertukar pandang dengan Noah.

"Teman-temanku berencana berkemah selama seminggu, dan itu dimulai pada hari Selasa. Mereka penasaran apakah aku dan Noah bisa pergi atau tidak," tutur Shaga.

Sambil mengalihkan perhatian Shaga kembali padanya, Ibu menatap buku masaknya. "Dan apa katamu?"

Shaga mengusap bagian belakang lehernya. "Kubilang kami akan bertanya padamu."

Ibu menatap mereka sejenak, buku masak di satu tangan dan satu cangkir penuh teh hijau di tangan lainnya. "Di mana mereka akan berkemah?" Ibu bertanya.

"Suatu tempat di Golden Rock," jawab Noah berbohong. Wanita paruh baya itu menghela napas dan menutup bukunya. "Saya tidak tahu. Nak, itu sedikit jauh dari sini dan saya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu."

"Kumohon, Bu. Ini hanya memakan waktu tiga puluh menit untuk perjalanan. Tidak terlalu jauh. Kami mungkin masih memiliki layanan di sana sehingga aku bisa meneleponmu." Shaga menatapnya dengan tatapan memohon, berdoa agar Ibu akan mengatakan ya.

Dia menyesap tehnya sejenak, seolah-olah jawabannya ditulis dalam kestabilan cairan. "Beri Ibu waktu untuk memikirkannya, oke? Saya akan memberikan jawaban pada kalian berdua di penghujung malam."

Shaga membungkuk sedikit. "Terima kasih." Lelaki itu memegang pergelangan tangan Noah dan menuntunnya ke atas.

"Ga, lo tahu? gue memperhatikan sesuatu tadi."

Shaga menatapnya. "Kenapa?"

"Ibu lo itu nggak bertingkah seperti kebanyakan Ibu Asia, di mana dia sangat ketat dan selalu ngedukung lo. Gue iri," kata Noah cengegesan.

⨾ ⠀𝐂𝐀𝐒𝐓𝐑𝐀 𝐍𝐎𝐂𝐓𝐄Where stories live. Discover now