1. Kota Rhea di Mata Tarsa

60 10 2
                                    

Baunya sangat busuk hingga membuat perutku mual dan ingin muntah.

Aroma napas yang tercium seperti perpaduan alkohol dan muntahan membuatku sebal. Belum lagi kulit licin berkeringat dan mata teler yang membuatku tidak tahan berada di rumah ini. Sosok lelaki yang hanya berjarak sejengkal dari tubuhku membuatku tak nyaman. Dia terus mendesak dan memojokkanku bagai mangsa yang siap diterkam.

Bajingan.

Lelaki bajingan itu ternyata lebih bajingan dibanding yang sebelumnya aku kenal.

Aku mengumpat dengan lantang pada pria bajingan di hadapanku saat itu, tapi sepertinya tidak ada seorang pun yang dapat mendengar. Bahkan dia pun mengabaikankau.

Aku sebetulnya tidak ingin mememberitahu hal ini, tapi pria bertubuh besar di hadapanku itu adalah pamanku. Aku membencinya.

Saat itu dia mengencangkan genggaman pada tanganku. Meremasnya sampai membuat kulit lenganku tertekan begitu kuat. Sakit. Rasanya seolah-olah bagian tubuhku akan remuk dan tulang-tulangku akan hancur.

Dari sorot matanya, dia jelas tidak sedang bertindak normal atau bahkan setengah sadar. Yang mana pun itu aku tidak peduli. Hal yang kupedulikan saat itu adalah kabur dari jeratannya secepat mungkin.

Dia tiba-tiba menjenggut rambut pendek pirangku hingga kepalaku tertarik ke belakang, membuat leherku terasa sakit. Meski begitu, ada celah yang menjadi peluang untuk menyelamatkan diri. Kumasukkan salah satu tanganku untuk merogoh sebotol semprotan merica dari dalam saku rompiku. Lantas menyemprotkannya tepat di mata dan hidung pria berengsek tersebut. Sebelum peluang benar-benar hilang, kutendang selangkangannya dan lekas pergi dari rumah itu melalui jendela yang terbuka.

Aku berlari kencang menyusuri bukit di malam yang sunyi dan berangin dingin. Suhunya kontras dengan tubuhku yang terasa panas karena terbakar amarah dan rasa malu. Keringat mengucur di seluruh badan hingga membuat pakaianku basah. Aku terus berlari menjauh dari pria itu tanpa memelankan langkah sedikit pun. Satu-satunya tempat pelarian yang mampu terpikirkan olehku adalah Rhea City Cemetary, yaitu area pemakaman penduduk Kota Rhea yang seluruh makamnya terbuat dari granit putih. Posisi makam-makam itu diatur menghadap laut, sehingga tampak begitu menenangkan dan indah sebagai tempat peristirahatan terakhir.

Seseorang menyapaku hingga aku menoleh ke belakang saat suara itu terdengar. Lelaki muda yang tersenyum jahil datang dengan membawa sebuket bunga anyelir putih di tangannya.

Dia Regan. Salah seorang teman dekatku yang usainya setahun lebih tua dari usiaku.

Kukatakan pada Regan bahwa bunga itu pasti hasil curian. Lalu, dia merespons dengan suara tawa kencang dan rentetan alasan yang mengatakan bahwa dia membeli bunga itu dengan uangnya, tapi ya... tentu saja ternyata uang curian.

Awalnya aku tidak ingin menerima bunga itu, tapi Regan mendekat ke arahku dan meraih tanganku untuk menerima buket bunga anyelir putih itu. Dia memaksaku untuk memberi penghormatan pada makam ibuku dengan bunga anyelir putih itu.

Regan seolah paham dengan situasiku. Dia memang tidak salah. Selain menenangkan diri, aku memang merindukan ibuku.

Dua minggu lalu, kakakku menghilang entah ke mana. Kemunculannya terakhir kali terlihat menuju area Pasar Tersembunyi yang terletak di utara Kota Rhea. Banyak yang bilang bahwa pasar itu penuh bahaya dibandingkan Pasar Troist yang dipenuhi pedagang kaya. Tapi, aku tidak punya satu pun dugaan yang mengharuskan kakakku untuk pergi ke sana. Sialnya, dia meninggalkanku begitu saja dengan seorang pria dewasa yang selalu berusaha bertindak semena-mena padaku saat tidak ada siapa pun.

Setahun lalu, ibuku jatuh sakit dan meninggal. Sementara ayahku hilang kabarnya saat pergi berlayar ke laut. Aku dan kakakku akhirnya tinggal bersama satu-satunya kerabat tersisa yang ternyata adalah orang payah yang tidak berguna. Pamanku seorang pengangguran setelah dipecat dari Sea Night Post-sebuah ekspedisi jasa kirim tercepat di Kota Rhea-karena kerjanya yang lelet dan tidak becus. Sehingga perekonomian kami hanya mengandalkan upah dari pekerjaan kakaku di sebuah pabrik sepatu terkenal bernama Venola Qanthero.

To New Horizon : Tarsa's JournalWhere stories live. Discover now