7. Berlian dan Permata merah yang mengiurkan

20 3 0
                                    

Uluran tangan dari sesosok samar menyadarkanku dari nyanyian Nocturn. Kesempatan terbuka. Aku mengikuti sosok itu hingga masuk ke dalam rumah kayu kecil di tepi rawa untuk berlindung selagi Nocturn terus bernyanyi dan berkeliaran di luar rawa.

Sosok yang kini bersamaku adalah seorang perempuan yang tak kalah cantik dari Nocturn. Dia lebih tinggi dariku, mungkin sekitar 165 sentimeter. Tubuhnya ramping, mengenakan pakaian tradisional yang didominasi oleh warna hijau-hitam dengan corak emas kecokelatan. Selain itu, ada selempang berwarna hijau muda yang melingkari pinggangnya. Tampilannya persis seperti penari tradisional yang mengagumkan.

Ya ampun, kurasa aku tahu siapa dia. Bukan kah dia Sang Penari? Lagi-lagi aku bertemu dengan hantu!

Suasana gelap yang cukup menyeramkan di dalam rumah kayu itu membuatku merinding. Hanya ada satu ruangan berisi kursi kayu, meja kecil dengan tiga laci dan satu lentera padam di atasnya, serta dipan kayu dengan alas tipis yang terbuat dari bulu beruang. Kondisinya semakin mengerikan saat aku menatap wajah Sang Penari. Ekspresinya menyeramkan.

Dia punya mata sebesar biji hazelnut yang berwarna cokelat, belum lagi rambut hitam bergelombangnya memanjang sampai ke pinggang, dan ada mahkota emas yang menghiasi kepalanya. Apa di kehidupan sebelumnya dia adalah seorang bangsawan? Entahlah.

Meski merasa takut, aku mencoba mengajaknya bicara. Sebab sesaat sebelum memulai perjelajahan ke Green Mist Forest, Kapten Quest dan para kru The Holy Serpent telah banyak memberiku bekal informasi. Kini aku mengingat salah satunya, bahwa Sang Penari adalah hantu yang dapat menyesatkan orang-orang yang pergi ke wilayah barat pulau ini. Katanya dia tidak suka basa-basi saat bicara. Tapi, begitu kuajak mengobrol tentang hal yang berkaitan dengan kegiatan menari, dia menyukainya.

Semalaman kami mengobrol selayaknya teman akrab. Aku bahkan merasa bisa melewati malam itu dengan bergadang tanpa butuh istirahat.

Semoga saja fisikku tidak kelelahan karena belum mendapat jatah tidur dan masih sanggup bertahan sampai menemukan jimat suci.

Topik obrolan terus berganti. Kami saling bertukar pikiran. Mulai dari hal-hal yang telah dilalui Sang Penari, serta hal-hal yang pernah kulalui di Kota Rhea. Meski begitu, sebisa mungkin aku selalu menghindari kontak mata dengan sosok tersebut. Karena begitu kutatap matanya, dia sungguh tampak menyeramkan!

Menjelang pagi, sepertinya Sang Penari ingin mengakhiri obrolan kami. Kudengar menyuarakan sebuah sajak.

Begini isi sajak yang kuingat pada saat itu:

Malam menyanyi sepi
Buai merdu membawa maut dalam kemelut
Hidup hanya bagai perjalanan pilu
Tahu kah kamu siapa yang merugi?
Mortal fana yang merindu semu
Lebih baik bersama abadi bila lelah mencari tak pasti
Apalagi sengsara yang menyakiti
Mau kah kamu berbagi sepi? bersama luka dengan orang mati

Aku tiba-tiba merinding mendengar sajak itu. Meski kalimatnya membingungkan dan tidak banyak kumengerti. Namun, mengapa Sang Penari seakan menyindirku? Sajaknya persis menggambarkan masalah yang sedang kuhadapi. Hidup dalam kesengsaraan yang tak berarti. Apa maksudnya dia mengajakku mati?

Tak lama akhirnya aku mengerti sesaat setelah sajak itu berakhir diucapkan. Awalnya terdengar nyanyian-nyanyian sedih yang samar, lalu beberapa saat setelahnya sosok-sosok arwah-kebanyakan laki-laki-muncul dari berbagai penjuru rumah kayu menyeramkan itu. Mereka berpakaian ala bajak laut yang penuh dengan wajah muram. Arwah-arwah itu lantas mendekati Sang Penari.

Aku memberanikan diri untuk melihat wajah Sang Penari meski takut. Namun, seketika aku menyesal karena telah menatap matanya. Wajah dia saat itu berkali-kali lipat lebih menyeramkan!

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 06, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

To New Horizon : Tarsa's JournalWhere stories live. Discover now