025 || Kembali

75 35 21
                                    

“Enggak. Noa please. Maafin gue, gue minta maaf. Jangan tinggalin gue!”

Esha terbangun dengan keringat di sekujur tubuhnya. Ia melirik sekitar dan bernapas lega setelah melihat jam masih menujukan pukul 5 sore. Tanpa merapikan diri Esha bergegas keluar ke apartemen sebelah memastikan bahwa apa yang ia alami barusan benar-benar bunga tidur, bukan kenyataan. Ia takut bahwa semua itu memang kejadian yang nyata.

Esha mengetik beberapa digit angka di sana. Untungnya pin apartemennya masih sama. Gelap, apartemen Noa gelap. Itu membuat segala pikiran buruk Esha melayang kembali.

Dengan tergesa Esha membuka pintu kamar Noa. Tidak ada, tidak ada Noa di dalam sana. Esha panik, membuka semua ruangan di sana tapi sayang Noa juga tak kunjung ada.

Esha menangis, ketakutannya kembali hadir. Beberapa kali ia berteriak memanggil nama Noa. Benar-benar berharap bahwa semua itu mimpi belaka.

Hingga suara pintu terbuka membuat Esha mendongak. Di sana ada Noa yang berdiri lemas dengan Haraz dan Jiel di kanan kirinya, memapah tubuh Noa.

“Selesaikan urusan kalian.” Ujar Jiel dingin.

“Sha, jangan buat Noa kembali kayak dulu. Dia sembuh karena lo, masa lo juga mau jadi alasan dia kayak dulu lagi. Jangan tinggalin Noa, Noa tadi bilang lo putusin dia.” Haraz berjongkok menepuk pelan pundak Esha bak seorang Kakak yang memberi pengertian kepada adiknya perihal asmara.

Tubuh Esha menegang. Ternyata semua itu adalah kenyataan. Tidak mimpi, semuanya sudah benar-benar terjadi.

Tanpa memedulikan kehadiran Jiel yang masih menatapnya dingin, dan Haraz yang baru saja menepuk bahunya. Esha langsung bergerak cepat kepada Noa yang terduduk di sofa, tidak tidur atau pingsan. Noa sadar, dia masih melihat Esha yang penampilannya sangat berantakan, ada banyak jejak air mata di pipinya, matanya juga tak kalah sembab darinya.

“Noa. Noa maafin gue. Gue gak niat putusin lo, pikiran jelek itu emang ada di kepala gue setelah kita ribut waktu itu. Tapi gue gak pernah berpikir buat putusin lo, gue tadi kesel terus kalimat jelek itu malah keluar dari mulut gue. Please maafin gue, jangan tinggalin gue.” Esha menangis sesenggukan seraya memeluk erat kaki Noa. Tak peduli lagi dengan gengsi dan harga diri. Esha hanya tidak ingin kehilangan Noa apalagi ia sempat melirik tangan Noa yang di perban. Esha benar-benar takut Noa seperti dulu lagi.

Noa melepas tangan Esha dari kakinya. Menggantinya dengan sebuah pelukan yang sejak satu minggu lalu Esha rindukan. “Maafin gue juga. Gue cuma kaget, gue juga gak mau putus dari lo.”

Esha malah histeris kembali. “Maafin gue. Gue minta maaf, jangan kayak gini lagi,” dengan tangan yang bergetar Esha menyentuh perban Noa. Perban itu kembali bersimbah darah karena Noa menggerakkan lengannya kasar untuk menarik Esha ke dalam peluknya.

Noa diam tak bersuara. Memilih membiarkan Esha yang menangis semakin keras menyentuh luka baru yang kembali hadir di tangannya.

Noa sadar ini salahnya. Salahnya yang berpikir pendek tadi siang, ia sadar saat itu Esha mengikutinya maka akhirnya menambah kecepatan motornya hingga pada akhirnya kecelakaan itu terjadi. Seluruh tubuh Noa terluka, tapi tangannya lah yang paling parah. Pergelangan tangan Noa sobek hingga harus menerima dua belas jahitan untuk menutupinya.

Siang tadi Esha memang mengikuti motor Noa sekedar memastikan bahwa Noa tidak melakukan hal bodoh seperti melukai tangannya kembali misalnya. Sayangnya ia kehilangan jejak, hingga pada akhirnya memilih pulang ke apartemen seraya berharap bahwa Noa akan kembali pulang dengan keadaan baik-baik saja.

“Noa, maafin gue. Jangan kayak dulu, jangan lukai diri lo lagi.”

Noa membuang napas seraya mengangkat tangan sebelahnya untuk mengelus bahu Esha. “Ini bukan karena gue gores. Gue jatuh tadi.”

Hidden Couple Where stories live. Discover now