Bagian 21

18.5K 1.2K 270
                                    

🦋 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 🦋

"Abi, nanti saja lanjut baca kitabnya. Makan dulu. Zaman, makan dulu, nak. Mahika, ayo makan, sayang."

Suara Umi membuat mereka bertiga langsung berjalan menuju meja makan. Mahika tersenyum melihat menu makanan yang berada di atas meja.

"Sengaja Umi masakin makanan kesukaan, Mahika. Ayo duduk semuanya."

Zaman menarik kursi makan, lalu menyuruh Mahika untuk duduk.

"Karena Mahika sudah libur. Jadi, tidurnya di kamar yang di sebelah kamar Zaman ya. Sudah Umi rapikan. Ada lemari juga buat tempat pakaian, Mahika."

Alih-alih Mahika yang menyajikan nasi di piring Zaman, justru Zaman yang menyajikan nasi serta lauk di piring Mahika.

"Beda kamar, Umi?" tanya Mahika.

Abi kontan menatap menantunya. Umi tertawa dan mengangguk.

"Belum boleh satu kamar. Pisah dulu, ya."

Zaman menatap ke sebelah di mana Mahika mendengus.

Malam itu mereka lanjut makan di meja yang sama. Mahika nampak lahap. Jangan tanya soal porsi makannya. Melebih porsi Zaman. Begitu selesai makan. Abi kembali ke ruang tengah. Lanjut membaca kitab seperti yang ia lakukan tadi.

Mahika membantu Umi membereskan meja makan. Mencuci piring. Lalu keduanya keluar dari dapur dan bersantai di ruangan yang berbeda.

Umi di ruang tengah bersama Abi. Sedangkan Mahika menyusul Zaman di ruang menonton.

"Bilangin sama Umi biar nggak pisah kamar. Mahika nggak akan nodain, Gus kok. Bilang yok," bisik Mahika di telinga Zaman.

Zaman menggeleng kepala. Matanya fokus ke layar televisi yang menampilkan ceramah dari salah seorang Habib.

"Kenapa? Nggak suka ya dekat-dekat sama Mahika? Nggak nyaman? Mahika kurang menarik ya?"

Zaman seketika mengalihkan pandangannya ke Mahika. Kemudian dia terkekeh. Lantas menarik hidung gadis itu.

"Kamu menarik. Sangat menarik jiwa dan kewarasan. Tapi untuk sekarang jangan dulu. Kalau kita satu kamar, takut kalau kamu mancing dan semuanya selesai. Kamu suka membuat imanku gempa, Mahika. Itu yang paling bahaya."

Kening Mahika mengernyit.

"Iman gempa? Maksudnya?"

Alih-alih menjawab. Zaman justru menarik bahu Mahika dan membawanya ke dalam pelukannya. Dia mengusap-usap kepala gadis yang bersandar di dadanya.

"Mahika nggak bisa tidur sendirian. Ayo temani Mahika. Janji deh Mahika nggak akan ganggu, Gus. Nggak akan genit-genit."

"Lulus dulu baru sekamar ya. Sekarang biasain tidur sendiri," jawab Zaman.

Mahika kontan memukul lengan Zaman. Dia mendengus dan diam menonton televisi.

"Aku bukan nggak mau satu kamar sama kamu. Tapi memang baiknya jangan dulu. Aku nggak khawatir sama diriku sendiri, justru aku khawatir sama kamu. Masih sekolah. Nggak lucu kalau kamu berhenti sekolah hanya karena hamil. Iya kan?"

Mata Mahika seketika melotot. Dia menatap Zaman. Melipat kedua tangannya di dada.

"Berarti udah ada niatan hamilin Mahika? Berarti otak polos kamu udah mulai berwarna keruh?"

Zaman Omair (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now