Bagian 24

17.6K 1.3K 184
                                    

🦋 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 🦋

"Tunggu beberapa hari lagi baru kalian pergi. Kaki kamu masih luka, baru semalam diobati, Zaman. Jalanmu juga masih pincang."

"Umi, ini cuma luka kecil. Kaki satu lagi masih bisa menahan. Zaman masih bisa naik motor."

"Bagaimana kuliahmu? Cari tempat lain yang tidak mengganggu kuliahmu. Besok, kamu sudah masuk kuliah hari pertama. Bagaimana?" Abi ikut bertanya.

Mahika yang berdiri di belakang Zaman, menunduk. Dia merasa bersalah karena membuat Zaman berada di posisi ini.

Semalam setelah pulang dari rumah sakit, Zaman mengatakan bahwa dia akan membawa Mahika tinggal di tempat yang jauh tersembunyi. Karena tadi malam saja, rumah mereka digedor-gedor oleh seseorang, entah siapa itu. Tapi tebakan Zaman, itu teman-teman Papanya Mahika.

Mereka tidak aman di sini. Pesantren akan jadi sasaran. Maka dari itu, Zaman memutuskan untuk pergi bersama Mahika.

"Zaman mohon, Umi, Abi. Ini semua demi kita. Di mana saja masih bisa belajar asal ada niat. Zaman akan belajar setiap hari. Mahika tanggung jawab, Zaman." dia mengatupkan kedua tangannya di hadapan orang tuanya.

Umi terlihat sedih. Tapi ini memang jalan keluar.

"Kalau matahari sudah terbit, aku atau pun Mahika, mungkin nggak akan bisa keluar bebas. Bagaimana kalau mereka mematai-matai rumah ini?" Ucap Zaman.

Sampai akhirnya, umi mengangguk. Sedangkan Abi tidak memberi reaksi. Karena jika zaman pergi, kuliahnya akan terbengkalai.

Melihat persetujuan umi. Zaman tersenyum.

Hingga mereka berdua benar-benar pergi dari rumah pada pukul 3 pagi. Kaki zaman masih sakit. Tapi dia paksa untuk bisa mengendarai motor. Mahika benar-benar merasa bersalah.

Tapi, dia tidak mengatakan apa pun. Hanya diam menyimak.

Bahkan yang mengemasi bajunya adalah Zaman. Ada dua tas besar yang mereka bawa. Keperluan pribadi dan juga stok makanan untuk dua Minggu ke depan. Mereka berangkat menggunakan motor.

"Mahika."

"Hum."

"Dingin?" tanya Zaman. Dia menatap gadis itu dari kaca spion.

Mahika tersenyum lantas mencium pundak Zaman. Kedua tangannya semakin erat memeluk laki-laki itu. Dia memejamkan matanya. Entah apa yang terjadi esok hari. Dia kehabisan tenaga untuk berpikir.

Adalah sekitar 3 jam perjalanan yang harus ditempuh untuk sampai ke tempat tujuan. Melewati jalan yang susah. Terkadang, Mahika harus turun dari motor agar bisa terlewati.

Sampai akhirnya, motor mereka berhenti tepat di depan rumah kayu yang halamannya penuh dengan rumput liar. Ini hutan.

"Sudah sampai," kata Zaman.

Mahika turun. Dia mengedarkan pandangannya menatap sekitar. Banyak pohon yang menjulang tinggi, hutan yang tidak terlihat seram.

"Ini rumah kakek. Dulu, di sini berbaris puluhan pohon durian. Kalau sudah musim panen, kakek akan tinggal di rumah ini untuk menjaganya. Itu kenapa rumah ini ada di tengah hutan seperti ini."

Zaman meletakkan helmnya. Kakinya yang pincang berusaha berjalan kokoh. Dia menarik tangan Mahika untuk segera masuk ke dalam rumah.

Begitu pintu di buka. Mahika langsung bersin.

Zaman Omair (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now