Bagian 37 Sertifikat Tanah

291 43 32
                                    

Assalamu'alaikum.

Jangan lupa tekan bintang dulu sebelum baca yaaaw, jangan mau jadi silent readers 🥲

Sambil baca kasih komen, aku suka baca komentar-komentar kalian walaupun nggak bisa semua aku balas🥺

Sambil follow instagram ku juga @windiisnn_ @windisworld_story

Gapake lama, happy reading!








Bagian 37 Sertifikat Tanah

Menyembunyikan apa yang engkau ketahui itu lebih mulia daripada mengumbar apa yang engkau duga

––Sayyidina Ali bin Abi Thalib





Suasana restoran semakin ramai di jam makan siang, semakin matahari melewati batas pertengahan hari, perlahan para pengunjung pun meninggalkan Legenda Rasa Resto. Setelah kepergian Gauri dengan putrinya, kini Pirat duduk berhadapan dengan Syaron. Dia belum tahu maksud kedatangan laki-laki itu.

“Ada apa?” tanya Pirat dengan sesekali tangannya menggulung-gulung kertas yang ada di meja, sebelumnya dimainkan oleh Zaara.

Syaron duduk dengan menyenderkan punggung ke senderan bangku, laki-laki itu menghela napas. Kemudian, laki-laki itu mengangsurkan sebuah map kepada Pirat yang sejak tadi ada di meja.

“Apa?”

“Bukalah.”

Perlahan, Pirat membuka map dari Syaron. Setelah mengetahui apa yang ada di dalamnya, Pirat mendongakkan kepalanya, “Ini …,” perempuan itu tak dapat berkata-kata.

“Aku sudah membuatkannya sejak awal,” aku Syaron semakin membuat Pirat terkejut.

“Lalu kenapa selama ini kamu …,” Pirat sungguh kesulitan berkata-kata.

“Restoran ini milikmu sekarang dan seterusnya,” Syaron bicara santai, namun tanpa ekspresi yang disisipi senyum seperti biasanya. Jujur saja, hal itu mengganggu pikiran Pirat.

“Tapi selama ini kamu memintaku berada dalam kesepakatan.”

Syaron menegakkan tubuhnya, memperbaiki posisi duduknya, “Aku memang menginginkanmu, Pirat. Tidak terlewat barang sedetik pun,” Syaron menatap istrinya dengan serius. Memangnya, kapan lelaki itu main-main dengan Pirat?

Mendengar pengakuan Syaron, Pirat hanya diam. Dia masih terkejut karena mendadak Syaron memberinya serftifikat tanah.

“Aku hanya menginginkan hal sederhana dari pernikahan ini,” Syaron menjeda kalimatnya, “kita hidup rukun dengan saling menerima. Itu terlalu sulit untuk kamu kabulkan?” tanya Syaron.

Pirat menggeleng, “Masalahnya adalah, pendefinisian kita terhadap pernikahan ini saja berbeda, Syaron,” Pirat memberi pemahaman.

“Mananya yang berbeda? Definisi seperti apa?”

Syaron kesal karena yang selalu Pirat singgung adalah perihal idealitas.

“Aku menganggap pernikahan yang damai adalah pencapaian dalam pernikahan. Memangnya definisimu bagaimana? Pernikahan penuh huru-hara? Kamu selama ini yang membawa huru-hara itu, Pirat.”

“Kamu yang memulainya. Jadi siapa yang patut disalahkan?” tanya Pirat menantang, perempuan itu tak mau disalahkan seorang diri.

Mendengar perkataan Pirat, Syaron tersenyum kecut. Pirat yang keras kepala begini, tak mengurangi rasa cinta Syaron kepada perempuan itu. Syaron mengangguk-angguk dengan perasaan bergemuruh, “Aku ingin bertanya satu hal padamu,” Syaron menatap mata Pirat begitu lekat, membuat Pirat menahan napas untuk sesaat. “Kamu tidak pernah memiliki rasa padaku semenjak kita menikah?”

Ketika Kita Bertemu Lagi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang