I. Rival

19 4 0
                                    

15 Bulan berlalu.

Seseorang lelaki terbangun dari mimpi yang kelam. Memori itu berputar selama dia tertidur. Dia memejamkan mata sejenak. Apakah dia menjadi orang yang berbeda, atau sedang melaju ke masa depan. Kejadian itu seakan telah lama terjadi.

Dia menghela nafas, terlalu lelah bagi orang yang sengaja beristirahat dan justru mimpi buruklah yang menantinya.

Dia terduduk. Membuka tirai usang di samping tempat tidurnya. Dia belum pernah mengganti dengan yang baru. Tak cukup uang untuk membelinya. Bahkan dia berharap bisa tidur di atas kasur yang lebih empuk.

Jenuh.

Ia Mengusap seprai. Kasar.

Kembali menatap jendela. Tidak sekusam dua kain tua itu bila ia menyebutnya sebuah jendela loteng.

Dia memandangi beranda rumah di seberang. Sosok gadis muncul dari balik atap, masuk ke kawasan rumahnya lalu mengetuk pintu.

"Hey, Ketua OSIS, Ayo kita berangkat. Jangan sampai kau sekali-kali terlambat sekolah."

Dua bulan berlalu semenjak pelengseran Ketua OSIS, tapi panggilan orang itu saat membangunkannya masih saja tidak berubah. Apakah tidak ada ucapan selamat pagi yang lebih baik?

Dia menyingkap selimut dan melipatnya. Mau tidak mau, hari tak berhenti berjalan. Rutinitas harus tetap dilakukan.

Dia masih tersenyum, hingga beberapa hari kemudian, dia cukup cemas karena hilangnya teriakan itu dari depan rumah.

****

Bel berdering tanpa jeda, menandakan kegiatan belajar mengajar sekolah Tunas Mutiara usai penuh dilaksanakan.

Petang. Senja bersinar membuat hati tak karuan. Entah ia harus tenang atau risau dengan banyak hal yang telah dijalaninya hari ini.

Keadaan kelas A sedang tidak baik-baik saja, guru matematikanya berada di "luar kebiasaan"! Rizan merasa kemarin guru itu tetap berada di dalam kelasnya meskipun waktu telah habis beberapa menit lalu. Namun sekarang beliau langsung melangkah pergi dengan sunggingan.

Rizan memerhatikan buku yang dijinjing gurunya, kadangkala terpikir: Sampai kapan peneliti-peneliti di luar sana akan membuat buku itu menjadi setebal tumpukan baju kotor di rumahnya?

Mungkin tahun depan pun, materinya sudah siap untuk bertambah.

Rizan menepuk tangannya sekali, simbol permohonan maaf ia panjatkan.

Semangat, para adik kelasku! Matematika kalian akan lebih sulit dari apa yang Kakak dapati.

Di samping itu, kini Rizan mulai mengerti, bukan beliau saja yang tercermin riang, tapi seluruh penghuni kelas juga ikut berseri-seri.

"Sebegitu antusiasnyakah mereka untuk pergi ber-camping?" Rizan bergumam, tak luput ia pasti ikut senang melihat mereka bergembira.

"Begitulah." Seseorang menjawabnya.

Rizan menoleh, perempuan yang duduk di sampingnya bercakap tanpa menatap lawan bicaranya. Mata dan jarinya sibuk menyelesaikan hitungan yang belum satu orang pun di kelas berhasil menuntaskannya.

".... Seseorang akan bersemangat jika ia digadang-gadang sebuah pengalaman baru. Kamu lupa kita kelas berapa? Umur anak kelas 9 masih tergolong kecil. Syukurlah mereka mendapat pengalaman menarik di awal remajanya."

Imagination is Amazing: Promise of Stars in The Night Sky [FINISHED]Where stories live. Discover now