VIII. Tinggi Badan

5 4 0
                                    

Rizan tak menyangka akan langsung menemukan sebuah hutan di hadapannya. Dia bisa menghirup udara yang lebih segar di sini.

Tempat signifikan di matanya sekarang merupakan sebuah hutan penghubung di kaki pegunungan Barat. Kira-kira ia telah berjalan sejauh satu kilo meter.

Pertengahan hari, matahari tergelincir. Namun, terik tak sempat dirasakan. Inilah keajaiban alami. Kesejukan yang selalu lama ia dambakan saat di kota tempat ia tinggal.

Cahaya menerobos sela-sela dedaunan di atas sana. Rizan mendongak. Tonggeret menjadi parasit pada pohon-pohon raksasa, berkeciak menyelimuti musim panas.

Desiran air menghilir ke arah berlawanan. Rizan tertegun, menatap sumber mata air. Hulu gunung terlihat lebih terang. Acap kali dia berkedip, sinar matahari menembus kelopak matanya.

Dia baru teringat sesuatu. Dia sebenarnya merasakan dahaga yang sangat luar biasa. Seharian penuh ia tak membasahi tenggorokannya. Matanya pun sudah lama berbinar menyaksikan aliran air jernih yang bertubrukan dengan batu sungai.

Dia berjongkok. Membasuh muka berkali-kali. Dingin dan segar.

Segera menenggak habis air di kedua telapak tangannya. Manis!

"Air gunung," gumamnya senang.

Rizan memutuskan kembali menyusuri lereng. Dia bahkan lupa membasuh luka bakar di punggungnya.

Terlihat seseorang sedang mencari kayu bakar di bawah pohon pinus. Rizan bergegas menghampirinya.

"Permi–"

Alangkah terkejutnya. Orang itu menoleh dan Rizan mendapati dia tak memiliki wajah. Orang asing tersebut memiliki lekukan kepala yang sama dengannya, gaya rambut yang sama, postur tubuh yang sama, bahkan mengenakan pakaian yang sama persis dengan yang dikenakan oleh dirinya.

Namun, dia memiliki ukuran tubuh yang berbeda, yakni sedikit lebih tinggi. Rizan semakin kebingungan. Dia bagai melihat dirinya yang telah dewasa.

"Kau butuh bantuan, anak muda?" Sapa orang misterius tersebut.

"Ah, begini. Aku tidak memiliki tujuan."

Orang itu terdiam kemudian tersenyum.

"Teruslah ke Barat. Kau akan menemukan sebuah pedesaan di balik gunung. Berbaurlah. Mereka adalah orang-orang baik."

Rizan mendongak. Menatap ketinggian gunung sepanjang pendakian tiga ribu kaki lebih.

"Terima kasih. Informasi darimu sangat membantu."

"Maaf karena ku tak memberimu sebuah peta. Temanku tidak sempat mewariskannya kepadaku."

"Tidak apa. Ini sudah cukup."

Tunggu! Rizan mendengar sebuah kata yang mengganjal di hati.

Mewariskan.

Rizan menoleh. Dia terperangah. Tahu-tahu, air mata telah membasahi pipi pria itu.

"Maaf, aku malah menangis."

Rizan dapat merasakannya, hati yang selalu tersedu dan tak pernah sempat terhangatkan.

Orang ini telah melewati banyak pengalaman pahit.

"Apakah ada yang bisa kulakukan?" Rizan mencoba menawarkan bantuan.

Imagination is Amazing: Promise of Stars in The Night Sky [FINISHED]Where stories live. Discover now