XVIII. Bentuk Nyata

9 4 0
                                    

Rizan tiba-tiba membuka matanya. Dia harus segera terbangun dari mimpi buruk dan segera mengungkapkan sesuatu kepada teman-teman.

Aku ... masih hidup.

Dia menoleh ke samping, lagi-lagi mendapati Sani tengah menunggu di atas kursi jati tua itu. Namun penampilannya sungguh berbeda, paras maupun sikap yang ditemui telah berubah semenjak Rizan tak sadarkan diri.

"Sani, berapa lama aku berhibernasi? Apa yang terjadi selama aku tertidur?" Rizan bertanya pelan. Dia sebenarnya lelah. Tenaganya terkuras karena dihadapkan mimpi buruk bertubi-tubi.

"Kau tidak berhibernasi, tapi kau koma," ungkapnya datar.

".... Satu bulan." Sani menjawab semua pernyataan dengan ketus.

"Tolong jelaskan situasinya."

"Zein datang. Hanya Qyan anggota keluarga yang tersisa. Rengganis pun terculik di bawah naunganku. Ah, salah, aku sama sekali tidak melindunginya"

Rizan perlahan bangkit dan terduduk. "Berhubung aku sudah bangun, kita bisa berangkat hari ini untuk menyelamatkan Rengganis."

Dia menatap jendela. Sinar mentari senantiasa menembus silau kaca kamar. Bintang berjenis itu masih bermain dengan gembira di arah timur. Agaknya hari masih pagi.

Sani menghela nafas, putus asa. "Rizan, maafkan aku."

Rizan menoleh tak mengerti.

" .... Aku benar-benar tak menyangka bahwa beban yang kau pikul ternyata sangat berat," ujar Sani

Rizan pun tersenyum tulus seakan tak ragu memaafkan keputusan Sani waktu itu. Dia mengerti. Sani berusaha untuk menjadi yang terbaik bagi teman-teman. Tentu tekadnya tidak dapat disalahkan.

"Bukan saatnya kita memikirkan permintaan maafmu."

Sani masih saja murung. Dia tak sanggup menatap wajah temannya. Dia telah berbuat kesalahan besar.

" .... Sani, Rengganis bukanlah Gadis Ramalan. Kita harus segera merebutnya kembali dari Zein."

"Dari mana kau tahu?" Sani tak bisa meyakini ucapan tak mendasar dari Rizan.

"Aku juga tak begitu yakin. Seseorang telah memberitahuku di dalam mimpi. Okta adalah Gadis Ramalan sebenarnya. Zein sengaja menjadikanku umpan agar dia terbunuh," jelas Rizan.

"Aku tidak terlalu menganggapnya benar. Namun, itu sedikit masuk akal."

"Tepat atau tidak, itu bukan masalah, Sani."

Sani akhirnya mulai melirik karena tak dapat memahami kalimat tersebut. Dan Rizan mencoba mempertegas maksud dari percakapan mereka sedari tadi. ".... Kita harus menyelamatkan Rengganis, sahabat terbaik kita."

Sani terbangun. Mengapa dirinya baru menyadari hal itu? Persahabatan adalah bentuk nyata sebuah hubungan yang sangat erat. Fakta-fakta yang terungkap tidaklah penting. Tak peduli dengan segala hal yang menjadi rintangan, mereka tetep akan menolong orang terdekat di kehidupan mereka untuk meyakinkan bahwa hubungan itu benar-benar terjalin.

Dia kembali bersemangat lalu mengangguk yakin.

            Dia kembali bersemangat lalu mengangguk yakin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

****

Rengganis bersandar di balik jeruji yang melayang. Dia menatap lemas pemandangan menakjubkan dari atas langit. Indah. Namun, suasana hatinya sama sekali tidak merespon. Wajahnya tampak murung seperti kala itu sekali lagi.

"Hey, tidakkah kamu berpikir? Kamu memiliki teman-teman yang sangat baik." Dia mengajak berbicara seseorang. Tepatnya sosok lelaki mungil di belakangnya.

"Lalu?" Lelaki itu tengah bertopang dagu di atas setegak singgasana mewah, duduk dengan arogan. Penampilannya tidaklah meyakinkan, akan tetapi dia adalah Raja II.

"Kembalilah! Jika kamu kembali sekarang semuanya pasti akan memaafkanmu. Aku sendiri tidak pernah sekali pun mengungkit-ngungkit luka yang kau torehkan di kepalaku."

Rengganis bersikap seolah dia sedang berbicara kepada orang yang telah ia kenal begitu lama. Interaksi dari kedua lawan bicara terlihat cukup akrab.

"Kau terlalu banyak berceloteh, gadis murahan." Raja II dengan mudah menghardiknya tanpa rasa bersalah.

"Apa?!" geram Rengganis tak terima.

"Nyatanya, memang itu yang selalu kau perbuat terhadap Rizan."

Rengganis langsung termenung. Perkataan itu benar. Dia tak dapat menyangkalnya.

"Hey."

Raja II mengangkat alis. Agaknya Rengganis hendak melemparkan sebuah pertanyaan kepadanya.

".... Sebenarnya, apa yang kamu inginkan, Mikel?"

Mikel dengan santai menyandar. Seringai bengis mengukir setiap dendam yang tertanam di dalam dirinya dari kecil.

"Tentu penderitaan orang-orang yang telah mengusikku." []

Imagination is Amazing: Promise of Stars in The Night Sky [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang