25. His Departure

4.2K 190 43
                                    

"Sebelum membaca, absen dulu disini!"

Guys, please bantu aku dengan vote setiap chapter yaa. Aku minta tolong.

Tolong penuhi komentar di setiap paragraf. Juga vote yang gratis di pojok kiri bawah. Don't be siders. Kalau kalian aktif, aku juga akan aktif update.

• Selamat Membaca •

•••

Pria itu mengerutkan alisnya menatap sebuah amplop yang berada di genggaman tangannya. Sesekali kembali menatap mobil yang sudah membantunya hingga sampai di rumah sakit, yang kini sudah berjalan menjauhinya.

Batinnya bertanya-tanya. Bingung bagaimana seorang gadis baik hati yang memperbolehkannya menumpang tadi, bisa mengenal sang sepupu.

Menggelengkan kepalanya pelan, tak mau berpikir lebih jauh, pria itu memasukan amplop yang dititipkan oleh gadis tadi padanya kedalam saku celananya, lalu berjalan dengan cepat memasuki rumah sakit.

Langkah kakinya memelan saat melihat dua orang laki-laki yang sangat dikenalnya sedang berbincang serius didepan ruang rawat. Alisnya mengernyit. Ralat, kedua orang itu terlihat seperti berdebat dengan masing-masing rahang yang sudah mengeras.

Sampai matanya melihat salah satu pria yang lebih dewasa menampar dengan keras laki-laki yang ia tahu dengan jelas bahwa itu adalah anak si pria dewasa.

•••

Arini memejamkan kedua matanya sesaat setelah dirinya sudah sampai di bandara. Netra-nya menatap jam yang melingkar dipergelangan tangannya. Sekitar dua puluh menit lagi jadwal keberangkatannya. Mata yang terlihat sembab itu mengedar, tersenyum tipis melihat banyaknya manusia yang berlalu-lalang.

Lalu tanpa sadar tangannya mengusap perutnya yang sudah terlihat menonjol. Arini bukan tak sadar bahwa beberapa pasang mata menatapnya dengan berbagai pandangan.

Jelas saja, dengan wajah cantik yang terlihat sangat muda, dan perut yang benar-benar terlihat menonjol, di negeri yang di tinggali oleh Arini ini tentu akan di pandang aneh dan menjadi perbincangan hangat oleh masyarakat sekitar.

Meski belum terbiasa, namun Arini mencoba bersikap tak peduli dengan pandangan orang-orang padanya. Bertahan hingga sampai di titik ini saja, Arini mati-matian berjuang. Memikirkan pandangan orang-orang terhadapnya akan membuat otaknya semakin penuh.

Dan Arini tak mau hal itu terjadi.

"Hai Nak, butuh bantuan?"

Suara itu membuat Arini tersentak ditempatnya. Kepalanya menoleh kesamping kanannya, menatap seorang perempuan paruh baya yang sepertinya seumuran dengan bundanya, tersenyum manis di sana.

Arini refleks membungkuk sekilas lalu tersenyum menatap perempuan itu. "Makasih, Bu. Saya cuma lagi nunggu jadwal pesawat saya aja, tinggal sebentar lagi," ucap Arini tersenyum.

"Nggak duduk aja, Nak? Emang kamu nggak pegel? Kasian loh itu," balas perempuan paruh baya itu sembari menatap sekilas perut Arini yang masih di pegang nya.

"Haha, gapapa Bu, aku kuat kok. Makasih udah peduli," ucap Arini.

"Kalau kuat, matanya nggak sembab gitu dong, Nak." Suara itu begitu lembut mengalun di telinga Arini. Namun Arini justru terpaku mendengarnya.

RAGAZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang