Bagian 16: Beban Rahasia

53 2 0
                                    


Setelah perjalanan panjang, akhirnya aku sampai juga di apartemen Bell. Sedangkan yang lain ikut bersama Oosir.

Aku mengetuk pintu kamarnya. Kurang lebih, mungkin saat jam 3 dini hari. Tak lama, Bell membukakan pintunya.

"Siapa kau!" teriak Bell keras. Oh, ya. Aku lupa membuka masker gas. Akhirnya, aku melepaskannya. Terlihatlah wajahku.

"Ume? Dari mana saja kau!" tanyanya sedikit membentak, "Masuklah, aku mengkhawatirkan dirimu." Aku segera masuk, begitupula Bell yang segera tidur kembali di atas kasur.

Pertama-tama, aku mengganti pakaian terlebih dahulu. Setelah itu, mencuci muka terlebih dahulu. Kemudia, menuju ke ranjang. Dengan hati-hati aku membaringkan tubuhku di atas kasur, supaya Bell tidak terbangun.

Pada saat aku menyelipkan diri ke dalam selimut, aku memperhatikan cahaya temaram di kamarku. Setelah semua yang telah terjadi, rasanya sulit untuk meregangkan tubuh dan menyusuri jalur mimpi. Namun, perasaan lelah akhirnya menyeretku untuk tidur.

***
Mataku terbuka di jam 6 pagi. Bell yang membangunkanku, padahal mataku masih terasa berat. Dia menyeretku ke kamar mandi.

Setelah selesai mandi. Aku melangkah keluar dari kamar mandi dengan handuk di kepala, menyeka sisa-sisa kantuk dari mata. Bell sudah menyiapkan seragam sekolahku dengan rapi di kursi. Aroma kopi menyeruak dari dapur, menjanjikan kehangatan untuk menyemangati hari yang baru.

Aku mengenakan seragam sekolah yang sudah disiapkan oleh Bell. Dia juga membantuku memasang dasi. "Terima kasih," kataku padanya.

"Ngomong-ngomong, maaf aku tidak bisa sarapan bersamamu. Aku sudah telat dan hari ini ada ujian Budi Pekerti," kataku dan segera berangkat ke sekolah.

Sesampainya di sekolah, ternyata hari ini Olin tidak bisa masuk. Bisa dibilang, hari ini jam kosong dan ujian diundur.

Dengan Olin tidak masuk, hariku tiba-tiba menjadi lebih santai. Langit pagi ini terlihat cerah, dan suasana sekolah yang biasanya ramai kini terasa lebih tenang. Aku memutuskan untuk tidur sejenak.

Seiring berjalannya waktu, teman-teman sekelas yang lain mulai berkumpul. Beberapa dari mereka terlihat agak kecewa karena ujian diundur, sementara yang lain menyambutnya dengan senang hati. Sesekali, tawa riang terdengar di antara percakapan mereka.

"Ayahku tidak menelepon hari ini, aneh sekali. Padahal dia sudah berjanji," ucap salah satu murid. Aku terbangun, karena tertarik dengan topik ini dan memutuskan untuk bergabung.

"Siapa ayahmu?" tanyaku secara tiba-tiba.

"Ayahku seorang militer. Mungkin dia sibuk. Bukan pertama kalinya ayah seperti ini. Namun, hari ini perasaanku aneh sekali," katanya memasang wajah sedih. Itu membuatku merasa bahwa ayahnya adalah salah satu militer yang aku kalahkan.

Pandangan mata temanku membuat jantung ini berdegup kencang, dan seakan-akan aku bisa merasakan beban kesalahan yang menghampiri. Sesaat, perasaan bersalah memenuhi pikiranku, membuatku terdiam tanpa kata-kata.

"Siapa nama ayahmu?" Entah kenapa aku tiba-tiba bicara seperti ini. Padahal, jikapun memang benar ayahnya tewas di tanganku, mana mungkin aku mengenal namanya. Memangnya aku berkenalan dengan para militer?

"Nama ayahku adalah Tunar," balasnya. Astaga, nama itu! Kenapa dari sekian banyak militer, harus dia yang menjadi ayah dari temanku?! Ini membuatku merasa bersalah.

"Maaf, aku tidak bermaksud menyakiti ayahmu. Aku tidak tahu bahwa dia ..." ucapku terbata-bata, mencoba menutupi kebenaran. Astaga, kenapa juga aku bicara seperti ini?

Dia menatapku dengan penuh keraguan. "Tapi... apa yang sebenarnya terjadi?"

Aku menggeleng pelan. "Aku pernah membaca buku. Kalau tidak salah, buku pelajaran Budi Pekerti. Jika kau ingat, di halaman 99, jika tak salah. Di sana menceritakan tentang para pembelot. Nah, di halaman sebelumnya, berisi nama-nama para pembelot. Salah satunya adalah, Tn. Tunar," kataku berbicara sangat lancar. Siapa sangka? Ucapan ini membuat Solanum, temanku, bersedih.

"Jangan bercanda!" katanya dengan nada tinggi, aku menjawab, "Jika tak percaya buka saja buku itu! Mungkin ayahmu diasingkan." Sialan! Kenapa mulut ini sangat blak-blakan?

Solanum terdiam sejenak, kemudian dia menatapku dengan mata penuh ketidakpercayaan. "Kau serius?"

Aku mengangguk. "Sangat serius. Dan aku tidak tahu apa yang harus kuceritakan padamu, tapi aku tidak berniat menyakiti perasaanmu."

Solanum terlihat bingung, mencerna informasi yang baru saja kudapatkan. Solanum menatapku dengan mata berkaca-kaca, lalu tiba-tiba air matanya mulai membanjiri pipinya. Tangisnya, sebuah komposisi melankolis yang tergores di wajahnya, menggema di ruangan kecil itu. Setiap isak tangisnya, sepertinya membawa beban berat yang sulit diutarakan.

Aku merasa tak berdaya, tanpa kata-kata yang bisa meringankan kepedihan di hatinya. Hanya keheningan yang menyelimuti ruangan, terputus sesekali oleh suara isakan penuh kesedihan dari Solanum yang meratap dalam diam.

Dalam kesulitan menyampaikan kebenaran, aku berusaha menemukan kata-kata yang bisa memberikan kenyamanan tanpa mengungkap rahasia yang mungkin akan melukainya lebih dalam. Dalam keheningan, aku mencoba menyampaikan bahwa ayahnya mungkin saja baik-baik saja, sementara hatiku merasa berat dengan beban rahasia yang harus aku simpan, tidak mungkin memberitahunya bahwa Tn. Tunar tewas di tanganku.

Tatapan haru dan kecemasan tergambar di wajah Solanum. Air matanya mengalir tanpa henti, menciptakan jejak-jejak kepedihan yang terukir di pipinya. Ia mencoba menahan getar suaranya yang gemetar, sementara tubuhnya terguncang oleh duka yang mendalam. Teman-temannya yang lain ikut merasakan kehancuran suasana, memperlihatkan raut wajah prihatin dan cemas seiring kebingungan yang menyelimuti ruangan. Suasana hening tercipta, hanya terdengar isak tangis yang memenuhi ruang itu, menciptakan ketidaknyamanan dan kekosongan di hati.

Aku memeluk Solanum dengan kuat, dan berkata, "Tenanglah! Aku ada di sisimu." Sambil Mengusap-ngusap rambutnya.

Di tengah pelukan, notifikasi ponselku berbunyi. Terpaksa harus menyudahi pelukan. Saat aku lihat, ternyata itu adalah notifikasi dari Bell. Namun, isi dari pesannya membuat hatiku bimbang.

"Hei, Ume. Hari ini departemen kebersihan datang ke apartemen kita. Jika ada barang-barangmu yang diambil, jangan menangis, ya!" Begitulah isi dari pesan yang dikirimkan oleh Bell.

Saat membaca pesan dari Bell, rasa cemas mulai menyelinap dalam diriku. Beban ketakutanku melonjak saat menyadari kemungkinan departemen kebersihan menemukan jejak pemberontakan semalam, terutama masker gas yang menjadi bukti aktivitas gelap. Benakku, mencoba mencari solusi untuk mengatasi potensi masalah yang muncul.
________________________________________
Copyright: 14 Desember, 2023

Labil BermainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang