02. Kantin Fakultas Bahasa Dan Seni

215 184 71
                                    

Sedari awal zaman maba sampai sekarang, gue sudah memutuskan akan menjadi mahasiswa kupu-kupu aja, alias kuliah-pulang kuliah-pulang. Karena, gue malas berhubungan sama tuntutan organisasi yang serba ribet.

Gue pernah ikut UKM satu kali ketika di semester 1, itupun karena Papah yang nyuruh. Katanya, biar nggak mubadzir. Kuliah S1 cuma sekali seumur hidup, seenggaknya gue harus pernah ngerasain gimana rasanya jadi budak kampus. Namun, ternyata nggak bertahan lama karena gue betulan ngerasa nggak nyaman, baik sama organisasinya ataupun orang-orangnya. Karena buat gue, selain menyenangkan, berinteraksi sama banyak orang juga melelahkan. Tingkat melelahkannya jauh lebih tinggi daripada menyenangkannya.

Tapi kali ini, untuk pertama kalinya setelah jam kuliah selesai gue nggak langsung pulang. Jika biasanya gue langsung bergegas menuju halte, sebaliknya, kini justru nyasar ke fakultas lain. Tepatnya Kantin Fakultas Bahasa dan Seni.

Gue nggak berbohong soal omongan gue kemarin, soal gue yang memutuskan untuk memulai perjalanan ini. Gue betulan nekat mencari tahu lebih banyak tentang Aji. Gue nggak tahu hari ini dia ada kelas atau enggak, tapi gue berharap ada. Yakali anjir udah capek-capek ke sini tapi hajat gue nggak kesampean. Seenggaknya gue lihat tubuh dia barang sekilas aja udah makasih banget.

Sayangnya, gue harus menelan bulat-bulat keinginan gue barusan di saat yang bersamaan gue justru melihat Damar dari bangku tempat gue duduk sekarang. Laki-laki itu duduk di salah satu meja tak jauh di depan gue, dengan beberapa mahasiswa lain yang mungkin anak Fakultas Seni juga. Normalnya, melihat dia yang notabenenya bukanlah anak Seni, gue seharusnya bertanya-tanya akan eksistensi dia di Kantin FBS saat ini ngapain. Tapi karena gue ingat bahwa Damar adalah seorang sosial butterfly, lantas gue buang jauh-jauh rasa penasaran itu. Apalagi, dia juga seorang aktivis kampus, relasinya ada di mana-mana. Dia kenal banyak orang termasuk gue. Dan kenapa orang seperti dia harus jadi pacarnya Julia sih?!

Bisa gawat kalau Damar sampai tahu keberadaan gue di sini. Seorang Anasera yang nolep abis, kelihatan batang hidungnya di fakultas lain. Sebuah fenomena yang sangat langkah. Maka sebelum hal itu terjadi, sebisa mungkin gue harus berpindah tempat. Di sudut manapun, seenggaknya kapasitas buat Damar bisa melihat gue kemungkinannya sangat kecil.

Tapi, emang guenya aja yang dasarannya ceroboh. Ketika berdiri hendak melangkah, sebelah kaki gue tanpa sengaja menyeret kaki meja, menyebabkan timbulnya suara deritan yang lumayan. Lumayannya sampai-sampai membuat orang-orang hampir seisi kantin menatap ke arah gue. Dan di antara mereka semua, Damar adalah salah satunya. Ya Tuhan, kacau dah kalau begini.

"Ana?"

Dan seperti yang gue duga, melihat gue ada di sini, Damar dengan segera berdiri dan berjalan menghampiri gue. "Lo ngapain di sini? Tumben banget?" tanyanya, menatap gue dengan heran.

Sesaat, gue geming sembari merutuk. Mati-matian mencari alasan yang pas. Tatapan orang-orang di sekitar kini sepenuhnya berkurang. "Gue ada perlu sama orang," jawab gue. Bohong, tentu saja.

"Siapa?"

"Anu, itu—si Jia. Gue beli barang olshop di dia. Ini mau COD."

Damar mengerutkan alisnya. "Tumben-umbenan lo beli barang di orang langsung? Kata Julia lo anti banget dan lebih suka beli di Marketplace?"

"Ck, yaudah sih. Sekali-sekali." Gue memutar bola mata malas. Julia nih nggak ada topik kah, sampai-sampai habit gue yang jadi bahan pembicaraan mereka sewaktu kencan.

"Anak Fakultas Seni?" tanya Damar lagi. Gue mengangguk. "Emang ada yang namanya Jia? Kok gue nggak pernah denger ya."

Ya mana gue tahu, gue aja ngarang tuh nama. Gue berdecak. "Kayak lo tahu nama semua mahasiswa aja. Ya ada, ini makanya gue mau nemuin dia."

Lucid Love ♡ | Park JisungWhere stories live. Discover now