05. Sepandai-Pandainya Tupai Melompat, Pasti Akan Jatuh Juga

167 128 66
                                    

Usai menutup pintu dan memastikannya terkunci, gue berbalik badan, berjalan ke dalam rumah dengan langkah ringan. Dengan melambung-lambung, gue ayunkan paper bag yang gue bawa.

"Halo, Papah!" sapa gue dengan riang, kala menemukan Papah yang tengah duduk bersantai di sofa sambil menonton televisi di ruang tengah. Gue mendudukkan diri di sebelahnya. "Gimana hari ini? Kencannya sama Mamah lancar? By the way... Mamah mana?"

"Mamah udah tidur. Kecapean dia," jawab Papah. Gue mengangguk mengerti. Tapi di detik berikutnya, Papah justru menjitak kening gue hingga menimbulkan bunyi yang renyah. Sontak, gue membelalak. Menatap dia dengan pandangan penuh tanya.

"PAPAH!! Apa-apaan sih? Sakit tau!" protes gue. Bisa-bisanya main jitak-jitak aja.

"Harusnya tuh Papah yang tanya ke kamu. Perginya tadi sendiri kok pulang-pulang bawa gandengan. Siapa tadi yang ngantar kamu pulang?"

"Dih, aku naik taksi online kok."

"Taksi online apa? Kamu pake dadah-dadah gitu segala tadi. pacaran sama driver-nya, kamu?"

"Enggak!!... itu tadi temen... cewek kok."

"Nggak usah bohong. Jelas-jelas Papah lihat dari jendela, dia cowok kok."

"Papah ngapain sih ngintip-ngintip?" Gue berdecak. "Iya, cowok. Maaf."

"Maaf buat apa?"

"Udah bohong." Gue menunduk.

"Terus, apa lagi?"

Gue mengangkat alis, heran. "Udah 'kan?" Emang ada lagi kesalahan gue? "Oh iya, pulangnya rada telat karena jalanan agak macet. Tahu sendiri lah pa, hari minggu. Jalanan lagi padat-padatnya."

"Bukan itu."

"Lah? Apa emang?" Gue tentu bertanya-tanya.

"Kenapa nggak ngajak dia mampir dulu? Kenapa kamu biarin dia pulang gitu aja? Papah udah terlanjur seneng tadi pas lihat kamu pulang sama cowok, bisa buat temen main catur."

"Astaga, Papah!" Gue kesel, jujur. "Ana kira apa'an. Taunya gitu doang! Nggak penting banget," cibir gue.

"Nggak penting gimana? kamu nggak kasihan sama Papah, apa? Nggak punya temen di rumah. Kamu enak, ada Mamah. Sama-sama cewek. Tiap hari ada temen ngobrol buat ngebahas hal-hal ribet masalah seputar per-cewek-an. Lah, Papah? Siapa temennya hayo? Nggak ada. Kamu nggak kasihan sama Papah?"

"Lebay banget," cibir gue sekali lagi. "Udah Ana tawarin buat mampir dulu tadi, tapi dia nggak mau. Katanya lain kali aja. Udah punya feeling nggak enak kali dia."

"Lain kali kapan?"

"Ya nggak tahu. Do'ain aja supaya Ana makin deket sama dia, biar nanti Ana bisa bawa dia ke rumah." Gue tersenyum lebar. "Tapi ya jangan diajak main catur juga! Kuno banget." Gue kemudian memilih beranjak. Meninggalkan Papah yang kini mengomel di tempatnya karena ga terima gue bilang kuno.

Tanpa mempedulikan, gue terus melangkah menuju tangga. Sampai akhirnya ponsel dalam genggaman tangan gue berdering, memunculkan notifikasi pesan WhatsApp masuk dari nomor nggak dikenal.

+62821xxxxxxxx
Ana, ini gue Aji. Save ya ^^

***

"JULIAAAA!!"

Melihat keberadaan Julia di kursi yang biasa dia duduki, gue mendekat ke arahnya dengan cepat. Gue duduk di sebelahnya—bangku yang letaknya tepat di samping jendela—yang emang biasa gue duduki setiap hari. Melihat tingkah gue yang bak orang kesetanan, Julia mengangkat alisnya dengan heran. "Kenapa lo?" tanyanya. "Pagi-pagi udah ngereog aja."

Lucid Love ♡ | Park JisungWhere stories live. Discover now