8. His Wife

42 21 27
                                    

Tidak seperti yang aku bayangkan, istri ayah tidak menyeramkan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tidak seperti yang aku bayangkan, istri ayah tidak menyeramkan. Justru dia selalu tersenyum setiap kali mengajakku berbicara.

"Tante udah banyak denger tentang kamu dari ayahmu," katanya saat kami masih berberes. Aku mengelap kaca, sedangkan dia menyapu lantai.

"Emang ayah cerita apa tentang aku?" tanyaku. Aku ingin tahu apa wanita ini hanya sedang berbasa-basi, atau ayah benar-benar bercerita tentang anak yang tidak pernah dia rawat dari dekat.

"Ayahmu bangga karena kamu tumbuh jadi anak yang mandiri."

Benar. Aku tumbuh tanpa pengawasan yang benar dari orang tuaku. Mereka memberikanku beban sejak kecil. Tidak salah lagi aku tumbuh menjadi anak yang mandiri.

"Oh iya, kalau kamu udah selesai lap kacanya, kita makan bersama ya. Tante beli banyak oleh-oleh buat kamu."

Aku mengangguk. Saat kami ke ruang makan, banyak sekali bungkusan makanan maupun bahan makanan yang menunggu.

"Tante gak tau kamu suka apa. Ya, kamu tau lah. Pas tanya ke ayahmu, dia bilang dia juga gak tau."

"Aku suka yang ini," kataku, menunjuk camilan pedas. "Kata orang ini pedas, tapi aku suka."

"Jadi kamu suka pedas? Kalau gitu semuanya buat kamu. Oh iya, keripik yang ini buat disimpan di kamarmu aja. Habiskan, ya. Nanti ayahmu habisin soalnya dia juga suka."

Senangnya bukan main saat disuruh mengambil semua jenis oleh-oleh makanan yang aku suka. Tanpa sedikitpun penolakan aku langsung menyimpan berbagai jenis camilan keripik itu di kamarku lalu kembali lagi ke ruang makan.

"Mir, aku udah pindahin barang-barangnya ke kamar. Nanti kamu yang susun, ya," kata ayahku. Dia baru saja selesai memindahkan barang-barang dari mobil ke kamar yang tadi aku dan istrinya bereskan.

"Iya, Mas. Sini makan dulu. Kita belum makan dari tadi, kan. Mas pasti lapar."

Aku bingung dengan apa namanya ini, tapi hubungan ayah dan istrinya terlihat tidak se-menggelikan yang aku lihat di film. Mereka jauh lebih serasi dibanding saat ayah masih menjadi suami bundaku.

"Tante, aku boleh ambil yang itu?" tanyaku. Sepertinya aku kebablasan karena belum pernah dibelikan oleh-oleh dari luar kota sebanyak ini oleh siapapun sejak aku lahir.

Sebelum istri ayah menjawab, ayah sudah lebih dulu memotongnya. "Jangan panggil dia dengan sebutan tidak sopan. Dia itu bundamu juga."

"Kamu jangan gitu ngomongnya, Mas. Aku yang nyuruh dia manggil dengan sebutan itu. Aku ga mau anak kamu jadi ga nyaman sama kehadiran aku," bisik istri ayah sepekan mungkin. Sepertinya agar aku tidak mendengarnya, padahal aku punya pendengaran yang cukup tajam.

"Gimanapun juga sekarang kamu bundanya, Mir."

"Mas, aku mohon."

Ayah memandangiku sekilas, lalu mengalah dengan istrinya. Aku berusaha pura-pura tidak mendengar karena dari ekspresi wanita itu, ini seperti sesuatu yang tidak boleh kudengar.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 07 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Ocean | revisiWhere stories live. Discover now