Catatan Perkenalan - Aku Siapa? 2

49 14 3
                                    

Aku akan mengatakannya dengan angkuh bahwa aku ini sungguh hanya ingin berbaring di tempat tidur, tertidur lelap, dan tanpa adanya interaksi dengan manusia lainnya. Aku tak perduli semisal orang-orang menyebutku sebagai pemalas atau bahkan mengatakan aku tak berguna.

Bukankah seorang pemalas juga mempunyai hak untuk bermalas-malasan. Biar ku perjelas, aku memiliki alasan kenapa tidur itu lebih menyenangkan dibandingkan melakukan aktivitas bersama manusia.

Aku membenci sekaligus menyukai manusia. Mereka itu menarik dan juga membosankan-selalu mencari kebahagiaan serta menolak kesedihan berdasar kesadaran yang dibuat-buat-lalu berlomba menyatakan pembenaran atas kepentingan yang disebut pilihan.

Lalu apa aku ini dibenci oleh kehidupan?

Di usiaku yang masih 3 bulan, aku didiagnosis mempunyai penyakit jantung. Aku tidak tahu harus bersyukur atau mengeluh dengan hal itu. Respon dari keluarga tidaklah buruk, meski begitu menyebalkan.

Bagaimana mereka tidak peduli berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk pengobatan, namun saat dokter menyarankan operasi, ayah dan kakek menolak dengan alasan yang klasik. Mereka menganggap tubuh yang diberikan Tuhan tidak boleh diubah-ubah layaknya mainan rusak.

Bukan itu yang aku permasalahkan. Begitupun respon warga yang menjuluki ku 'Si Dollar' karena biaya yang dikeluarkan cukup besar untuk pengobatan dan keluar-masuk rumah sakit.

Dulu memang keluarga ku cukup kaya dan bisa dibilang orang terkaya di kampung.

Apa sudah merasa bosan dan muak? Aku masih ingin melanjutkan.

Aku sendiri sudah cukup mengingat dari usia tiga tahun. Bisa dibilang kemampuan otak ku sudah cukup berfungsi sejak itu-aku bisa menggunakannya dengan baik-dan cukup untuk mengontrol keadaan. Aku sendiri tidak paham apa itu sebuah penyakit atau sebuah kemampuan. Aku sudah terbiasa mengenakan topeng dari kecil.

Salah satunya saat menginjak usia ke empat, kedua orang tuaku bercerai. Cukup aneh aku bisa memahami alasan keduanya bercerai, walaupun alasan mereka sangatlah absurd menurutku. Aku pun sama sekali tidak menangis, meski aku memahaminya, aku tidak merasa sedih ataupun kesal, aku tidak peduli dengan apa yang terjadi, padahal aku memahami kondisinya.

Setelah bertengkar dengan Ayah, ibu menghampiriku yang sedang asyik membaca komik di kamar "Ayahmu akan pindah dari rumah ini dan mengambil beberapa barang untuk dipindahkan ke rumah baru." Aku menengok keluar kamar melihat Ayah yang memberi arahan orang yang akan mengangkut barang.

Yang terpikirkan olehku hanyalah bahwa aku harus mengambil tindakan dan mengendalikan situasi. Mungkin aku harus pura-pura bersedih, bahkan menangis. Suatu kebetulan juga melihat Ayah akan mengambil lemari yang digunakan untuk menyimpan pakaianku.

Aku memulainya. Aku menangis, "lemari itu jangan dibawa! Aku menyukai lemari itu," aku terus mengatakannya sambil menangis. Aku merasa itu pilihan yang tepat untuk sementara, meski cukup aneh, tapi aku bisa memahami situasi dimana aku harus mengerti ibu yang bersedih dan ayah yang juga egois. Aku juga harus mengendalikan diri, agar tetap terlihat seperti anak kecil biasa yang polos.

Itu berhasil, Ibu menghampiri Ayahku sambil membawaku, "Pak sepertinya dia tidak ingin kau mengambil lemari itu," Sambil mengusap mataku dan menenangkan ku.

"Sepertinya begitu," Ayah juga mencoba menenangkan ku, "Sudah jangan menangis! Ayah tidak akan membawanya."

"Taruh kembali lemari itu! Aku tidak jadi membawanya." Suruh Ayah kepada orang-orang suruhannya.

Setelah mendengarnya, aku pikir aku harus tersenyum kepada keduanya, "Terima kasih," kata ku sambil tersenyum. Keduanya merespon dengan baik dan mereka tersenyum.

Aku benar-benar mengerikan bukan? Pada dasarnya yang ku lakukan bukan berdasar kesedihan, aku hanya tidak ingin merasa repot karena keegoisan atau perasaan keduanya. Meski aku memahami perasaan mereka, tapi aku tidak harus memiliki perasaan yang sama seperti mereka. Aku tidak ingin memikirkan hal-hal sederhana yang merepotkan seperti sebuah hubungan dan mengerikannya aku sudah melakukan itu dari kecil.

Lagipula apa itu kesedihan dan kebahagiaan? Aku tidak pernah merasakan keduanya. Aku hanya harus berpikir untuk mengontrol keadaan, supaya aku tidak kerepotan. Aku ini orang yang kosong.

Aku tidak bercanda, aku ini kosong. Aku sama sekali tidak memahami perasaan manusia. Bagiku perasan manusia itu seperti sebuah misteri yang nampak absurd untuk dijelaskan.

Jika, ada yang mengatakan tahap berbahaya itu, ketika sudah tidak merasakan apapun lagi, tidak bahagia, tidak sedih, tapi murni kosong. Lalu, bagaimana denganku yang sudah kosong dari kecil? Ini serius, aku sama sekali tidak tahu apa itu bahagia ataupun sedih.

Bahagia maupun sedih itu omong kosong yang tidak pernah ada, keduanya hanya perasaan positif dan negatif yang merupakan prasangka yang dibuat-buat oleh kesadaran yang tidak terkontrol.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 13 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Manusia Nol Persen Where stories live. Discover now