2

4 2 0
                                    

Aryn: p

Suara notifikasi terdapat pesan masuk dari ponsel itu mengejutkan Lalitha. Acara meringkasnya pun tertunda oleh gerakan senam jempol pada layar ponsel untuk mengetik sejumlah huruf.

Aryn: kantin

Lalitha: bentar by

Lalitha: hampir kelar

Lalitha: kenawhat kenawhy?

Aryn: ngumpul bareng

Lalitha: hm bentar otw nyusul

Aryn: ajak Griselda juga

Lalitha: iye ntar kalo nggak lupa gue seret tuh bocah

Lalitha: mau dijajanin kan?

Aryn: hm

Lalitha: sippp otw

Setelah meletakkan ponselnya di sembarang tempat, Lalitha pun melanjutkan kegiatan tertundanya. Masih dengan kecepatan dan bentuk tulisan yang sama, gadis itu berusaha menyelesaikan tugasnya.

"Kisah ini tak akan pernah berakhir, sampai hidupnya berujung," gumam Litha dengan mata yang sesekali melirik pada buku acuannya. "Nah selesai. Emang, ngeringkes itu perkara yang susah buat dikerjain."

Mejanya kini penuh dengan buku-buku. Antara LKS, buku tulis, majalah, buku cetak, novel sampai diary ada di sana.

Sementara melihat ke meja lain, semua bersih. Bahkan penghuninya juga telah menghilang.

Yang dia tulis di buku tulisnya mengacu pada LKS sesekali menengok ke buku cetak sebagai tambahan. Tetapi kini pikirannya masih berada di dunia khayal novel di depannya. Jangan lupa dengan majalah dan diarynya yang semakin membuatnya melayang jauh.

"Kok miris ya endingnya? Antara sad ending sama happy endingnya dipadu. Andai gue yang ada di posisi itu ..." Lalitha menggeleng-geleng. "Gue mana mau dipisahin sama doi hanya karena masalalu."

Pandangan Lalitha beralih pada novel di genggamannya. "Nih novel ucul juga awalannya, lovey dovey so lovely. Bikin greget anak orang aja. Cinta mereka sebagai karma karena pernah saling membenci. Hah, benci jadi cinta. Kisah klise lain yang dikemas lebih apik."

"Kok gue kaya orang gila, ya, ngomong di kelas yang jelas-jelas penghuninya tinggal gue," sadarnya mengingat sedari tadi ia nyerocos tidak jelas sendirian.

Lalitha meletakkan buku tulisnya di atas lks yang masih membuka kemudian menutupnya. Diletakkannya buku cetak dengan mata pelajaran yang sama di atasnya. Dengan malas ia memasukkannya ke dalam tas.

"Eh, iya, Aryn!" Gadis itu menepuk dahinya mengingat sesuatu.

Setelah mengemasi buku-buku sisa di meja, gadis berpipi cubby itu langsung melesat keluar meninggalkan kelas dan seisinya. Melaju kencang namun tetap riang menuruni tangga gedung IPS. Kakinya melangkah menuju deretan ruang kelas sepuluh di lantai dua gedung ini. Ke kelas Griselda.

"Litha," sapa seorang gadis lembut yang dijawabi dengan anggukan kepala dan senyum simpul olehnya.

Beberapa kali ia disapa siswi lain yang jelas mengenalnya di koridor. Seperti sebelumnya, ia menganggukkan kepala. Atau mungkin sekedar berbasa-basi bertanya, "mau ke mana?" atau sejenisnya.

Sampailah ia di kelas Sepuluh IPS Lima. Ruang di ujung utara gedung IPS lantai dua yang menjadi tempat Griselda menimba ilmu bersama kawan-kawannya.

Tempat di ujung dunia yang sering Lalitha datangi hanya untuk memalak sesendok nasi ini kini sedikit sepi. Mungkin penghuninya tengah berada di kantin mengingat bel istirahat telah berbunyi sepuluh menit yang lalu.

Adore YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang