00

5 2 0
                                    


Lalitha sendiri lagi, ketika ketiga temannya memiliki kesibukan masing-masing. Tentu Lalitha tidak memaksakan kehadiran mereka.

Aryn, Griselda dan Teresa. Ketika gadis yang ia sebut sebagai sahabatnya.

Mereka satu siklus permainan, walau berbeda kelas. Di sekolah, setiap harinya pasti ada waktu untuk mereka berkumpul, entah untuk makan bersama atau sekadar menanyakan kabar, entah itu di kantin, atau di kelas Aryn. Karena itu, banyak yang menganggap mereka sebagai sebuah geng. Mereka terkenal pandai dalam bidang seni. Kecuali Lalitha.

Aryn, gadis cantik berwajah lembut idaman sekolah. Orang-orang di sekolah menganggapnya sebagai siswa tercantik seangkatan. Ia bergabung dengan ekskul teater dan menjadi anak emas mereka. Selain berakting, ia juga memiliki suara yang lembut—terbukti dengan banyaknya orang yang terpesona dengannya ketika menjadi pemeran utama dalam sebuah drama musikal. Apalagi ditambah orang tuanya yang memasukkan dia ke tempat les bermain alat musik. Dia seperti Aphrodite dari sekolah.

Teresa yang paling dewasa. Dia baik hati dan supel, terbukti dengan banyaknya teman yang ia miliki di mana-mana. Ia merupakan anggota ekskul musik dan dipercaya sebagai vokalis dari band sekolah yang belakangan ini banyak membawa nama sekolah sebagai juara dalam kompetisi band. Bahkan, mereka berempat menjadi teman karena dia.

Griselda yang paling muda di antara mereka, satu angkatan di bawah Lalitha dan Aryn. Dia jelas merupakan bintang sekolah. Sejak masih SMP, ia sudah mengikuti berbagai kompetisi bernyanyi—bahkan salah satunya ditayangkan di sebuah stasiun televisi. Belum genap satu bulan dia bersekolah di SMU kami, ia sudah mengantongi gelar juara atas nama sekolah.

Membayangkan betapa hebatnya teman-temannya, Lalitha merasa rendah, lagi. Mereka begitu sempurna dan hebat.

Sementara Lalitha?

Dia bukan apa-apa. Dia cukup pintar, tetapi bukan juara kelas. Dia suka mendengarkan musik, bahkan mengagumi suara milik Griselda, tetapi ia tidak pandai bernyanyi. Mudah baginya mengontrol ekspresi, seperti berpura-pura menangis atau tertawa gembira, tetapi ia kikuk di atas panggung.

Yang paling menyebalkan adalah setiap kali mereka berkumpul bersama, Lalitha lah yang harus menjadi korban keganasan mulut siswa-siswi sekolah. Ia bukan idola kelas, maka dari itu banyak yang tidak mengenalnya. Ketika pertama kali melihatnya, tentu orang-orang akan bertanya, "Siapa dia?" Lalu, bagi yang kurang suka dengan Lalitha, mereka akan mengolok-oloknya dengan hal-menyakitkan-tetapi-memang-kenyataan seperti, "Yang tiga kebanggaan sekolah, yang satu Cuma beban. Nggak cocok kalau kumpul bareng."

Rasanya Lalitha ini maju kemudian berteriak kepada mereka, memangnya mereka siapa? Prestasi apa yang telah mereka sumbangkan kepada sekolah? Harusnya mereka sadar, mereka juga bukan siapa-siapa. Namun urung Lalitha lakukan, karena kata Teresa, buat apa meladeni orang-orang julid seperti mereka, hanya membuang-buang waktu saja. Teresa tidak tahu saja bagaimana rasanya dibanding-bandingkan dengan sahabat sendiri.

Andai Lalitha punya bakat...

Adore YouWhere stories live. Discover now