05 When the Husband Sulks

4.8K 323 18
                                    

Rembulan sudah beberapa kali menyusut dan membesar menandakan bulan-bulan dari hari-hari sudah terlewati, perjalanan panjang mereka sudah berlalu empat bulan lamanya tanpa terasa, meninggalkan berjuta cerita dan rasa.
Salma dan Zara semakin akrab begitupula Rony meski hanya sewajarnya saja, menghargai Zara sebagai teman Istrinya.

Hubungan Salma dan Rony pun baik-baik saja, kadang bertengkar saling merajuk namun berbaikan dengan cepat bahkan hanya dalam hitungan jam, perdebatan pun hanya hal ringan seperti Salma mengomel lalu merajuk dan berakhir perang dingin dalam beberapa jam begitupun sebaliknya tapi untungnya setiap bertengkar dan perang dingin akan luluh dan berbaikan karena hangatnya sebuah dekapan.

Kadang saat dilanda amarah, kesal dan rasa lainnya sebuah dekapan menjadi obat yang cukup manjur untuk melunakkan hati.

Hangatnya mampu memberikan ketenangan, apalagi didukung dengan afirmasi-afirmasi positif yang keluar dari mulut. Bukan membual tapi menunjukan rasa empati melalui kata maaf. Dekapan dan kata maaf menjadi dua sekawan paling ampuh untuk melunturkan masalah dalam catatan tidak berlaku pada semua masalah, hanya upaya saja.

Salma kali ini sedang gusar, hati dan pikirannya berkemelut saling bertabrakan menciptakan rasa gelisah yang tak terkira. Salma berkali-kali mengecek tanggalan diponselnya. Sudah seminggu lebih Salma tak merasakan tamu bulanannya. Ya, Salma telat.

"Apa gue hamil? " monolognya seorang diri.

Ia berdiri berjalan mondar-mandir dikamarnya. "Kalaupun hamil anak lo ada bapaknya, Sal. "

Ada bantahan lagi, hati dan pikirannya tidak singkron. Mau menerima tapi ia mempertimbangkan hari-hari yang akan ia jalani kedepannya.

Apa ia akan bisa mengatur waktu antara kuliah, mengurus anak dan juga Suaminya. Terlebih ia disini hanya seorang diri. Ah, tidak. Berdua dengan Rony. Salma takut salah langkah, ia perlu banyak bimbingan jikalau pun benar ia hamil.

Lantas apa Salma harus bahagia atau sedih? Jujur Salma gamang, setengah hati. Pikirannya riuh, ia berselancar di internet mencari tahu fakta-fakta sebuah tanda-tanda jika seseorang kemungkinan mengalami masa kehamilan.

Ada sederet fakta umum seperti mual, pusing, lesu, tidak napsu makan dan paling utama adalah telat datang bulan. Salma meraba dari semua fakta yang ia temukan hanya cocok pada kalimat telat datang bulan. Salma benar-benar bingung.

Kesepakatan di awal pernikahan mereka merencanakan akan mempunyai anak saat sudah lulus pendidikan, tapi semua itu hanya rencana jika Tuhan menghendakinya sekarang Salma juga bisa apa? Tapi sejauh ini ia rasa tak terlalu sering melakukan hubungan dengan Suaminya, jika pun melakukan dengan pengamanan ketat.

"Apa iya ada yang kebobolan? " Salma membeo lagi mengeluarkan beberapa asumsi yang beputaran dikepalanya.

Saking runyamnya isi kepala membuat Salma pening, ia berjalan kedapur mengambil minum untuk menetralisir perasaan gundahnya.

Rony belum tahu karena Salma yang belum bercerita, jam menunjukan pukul sembilan lebih itu tandanya sebentar lagi Rony pasti pulang.

Panjang umur, batin Salma.

"Assalamualaikum." Rony masuk tanpa dibukakan pintu, ia mengucap salam yang menggema keseluruh ruangan.

"Waalaikumussalam."

Salma menyambutnya dengan senyum terbaik, ia tahu Suaminya sedang lelah. Salma menyalami seperti biasa.

Rony tersenyum, rasa lelahnya hilang seketika kala melihat senyuman manis dari Istrinya. Menguar begitu saja.

Rony terduduk disofa sedangkan Salma mengambil air, belum ada percakapan hanya ada lemparan senyum dari keduanya saja.

"Diminum, Mas. "

Hi Switzerland (END) Where stories live. Discover now