[8]Balas Dendam

135K 5.9K 410
                                    

"Gila! Asik banget, bro!" Keempat orang itu sedang berbincang di depan gudang tak terpakai yang digunakan untuk menyekap Putih. Sesekali menghembuskan asap rokok yang sudah berabatang-batang mereka hisap.

"Terus habis ini kita apain?" tanya salah satu dari mereka, yang rambutnya agak gondrong.

"Pake lagi lah. Udah gak kuat lo? Payah!" ucap Wirya meremehkan.

"Beuh! Ngeremehin gue? Sapa takut!" Cowok gondrong itu bangkit lalu masuk ke dalam gudang lagi.

Sesampainya di dalam, dia tidak menemukan Putih.

"Anjir, bau banget!" Dia sontak menutup hidung mendapati ruang yang menjadi tempat Putih disekap banyak cairan yang aneh, serta belatung.

"Cari saya?" Tiba-tiba bisikan halus itu terdengar dari belakangnya. Dia memaku, jantungnya berhenti berdetak.

Perlahan-lahan dia menengok, tapi belum sempat dia melihat apa yang ada di belakang, mata kapak yang tajam sudah menebas lehernya. Kepala itu berhasil melayang dari tubuhnya. Menyisakan bagian berwarna putih yang mengucurkan darah seperti air yang keluar dari kran.

Cipratan berwarna merah kental menodai wajah Putih. Tidak ada lagi rasa takut dan jijik, Putih justru menikmati bau darah segar yang menyapa hidungnya. Badan tanpa kepala itu jatuh ke lantai. Sedangkan kepalanya menggelinding dan berhenti tepat di cairan bekas muntahan Putih tadi.

Di luar sana, ketiga orang yang tersisa belum menyadari apa yang telah terjadi pada temannya.

"Kayaknya si Toni lagi ena-ena tuh di dalem." Mereka tertawa.

"Biarin aja, abis beli obat kuat kali dia. Hahaha." Wirya meneguk minumannya habis. Tiba-tiba, dia merasa ada yang mengganjal di kakinya. Dia meraba-raba benda yang ia kira bola. Karena benda itu terlalu keras, jadi tangannya meraih ke bawah kursi.

Ketika Wirya angkat benda itu, jantungnya langsung berhenti melihat apa yang baru saja dia ambil.

Semua mata temannya terbelalak kaget, menganga tanpa bisa bersuara. Ketakutan itu langsung membuat mereka semua kalap.

"To—Toni?" Wirya gemetar memegang kepala Toni. Benda yang dikiranya bola ternyata kepala temannya sendiri. Darah menetes ke celana jeans-nya.

"Aaaaa!!" Ketiga orang itu berteriak histeris. Tanpa pikir panjang Wirya segera membuang potongan kepala itu ke sembarang arah. Mereka loncat dari tempatnya dan terbirit-birit lari membuka gerbang.

"Mau kemana, sayang?" Telinga mereka menangkap suara yang begitu halus tapi menyeramkan. Pelan-pelan mereka menoleh, terkejut melihat Putih memegang kapak dan pisau di kedua tangannya.

"Belum puas bermain, kan?" Putih menyunggingkan senyum di tengah wajahnya yang masih babak belur. Tubuh polosnya hanya terbalut kemejanya yang kebesaran.

"Putih! Lo yang bunuh temen gue, kan?" tanya Wirya berteriak. Putih melangkah maju, setiap kakinya melangkah bagai benda pemutus umur mereka.

"Lo dan temen-temen lo yang ngebunuh gue, sayang." Putih berlari cepat. Tanpa bisa dihindari, dia langsung menusuk perut Wirya dengan pisaunya itu. Kedua teman Wirya yang menyaksikan pisau itu menancap perutnya hanya bisa berdiri mematung.

Putih mencabut kasar pisau yang menembus perut Wirya, rembesan darah semakin melebar di jaket yang ia pakai. Putih beralih memandang kedua teman Wirya dengan tatapan nyalang. Senyum iblis tercetak indah di wajahnya.

"Kamu mau pakai ini? atau ini?" tanya Putih mengangkat kedua tangannya. Baik pisau ataupun kapak, keduanya sama-sama benda pengantar kematian yang menyakitkan. Kedua teman Wirya itu ketakutan, mereka menggeleng cepat, membuat peluh di wajah mereka berjatuhan.

Ketua OSISku Psikopat (PUTIH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang