00| Hujan malam hari

315 30 13
                                    

Harusnya, meskipun diluar hujan sedang turun, Rin tidak akan merasakan dinginnya ruang makan kala Mama dan Abang ke-duanya  ada disana.

Diruang itu Mama tampak mengunyah makan malam dengan mata yang tak lepas  pandangannya pada satu objek. Bukan, bukan Rin yang jadi orang beruntung itu. Bukan Rin objek pandangan Mama. Melainkan lelaki yang duduk diseberangnya. Lelaki yang sedang melahap makan malamnya dengan begitu bersemangat.

Mama  memandangnya dengan diam-diam. Bahkan hanya untuk melihatnya makan begitu lahap, ada sirat tulus dan bahagia dimata Mama, diiringi senyum yang perlahan terpasang diwajahnya. Dan cara Mama memandang dan memperhatikan dia, rupanya juga menjadi hal yang diam-diam Rin amati dengan rasa getir yang dia telan sendiri.

"Pelan-pelan, Rei," peringat Mama.

Reiden Kean Anggara, putra kedua Mama sekaligus Kakak kedua Rinji, seketika itu meringis, gigi kelincinya terlihat kala bibirnya melebar.

Dengan mulut yang penuh dia masih sempat menjawab, "Maaf, Ma. Habis Abang laper banget, tadi habis latihan basket. Apalagi masakan Mama juga enak banget."

"Iya, Mama tau. Tapi kalau makannya kayak gitu nanti tersedak lho! Nggak ada yang mau rebut juga, lihat tuh adikmu juga makannya sedikit, dia nggak bakalan habisin ini semua," ujar Mama dengan tertawa kecil.

"Iya, Ma," Rei akhirnya menyetujui.

Ditarik namanya diantara percakapan Rei dan Mama, Rin justru merasa tak nyaman. Dia merasa adanya dia disana sedari dulu memang tak berarti apa-apa. Rin, menggenggam sendoknya erat, melampiaskan rasa sesak yang tiba-tiba merangsek kedalam dada.

Selera makan Rin pun hilang, dia memutuskan untuk mendorong kursinya kebelakang. Membuat perhatian Rei dan Mama tercuri padanya.

"Aku, udah selesai, Ma. Aku ke kamar dulu,"

Tanpa menunggu jawaban mereka, Rin langsung berjalan meninggalkan ruangan menuju kamarnya. Mengabaikan mereka berdua yang hanya menatap dirinya tanpa kata.

Dengan langkah yang dia bawa dengan terburu, Rin akhirnya berhasil mencapai tempatnya beristirahat.  Tangannya sigap menutup pintu dengan segera, dan menguncinya rapat-rapat. Dia melemparkan badannya keatas kasur empuknya. Melepaskan desah panjang, menatap langit-langit kamar yang redup cahayanya.

Bukan hanya malam ini dia  tidak  berhasil mendapatkan hangatnya ruang makan dan nikmatnya makan malam bersama keluarga. Tapi sejak dulu memang begitu adanya.

Bukan sekedar dengan Mama dia diperlakukan demikian. Perasaan serupa ini juga  dia rasakan ketika memilih tinggal dengan Papa.

"Wah,.... Anak Papa hebat banget! UTS kali ini juga hampir dapat A semua. Cuma ada satu matkul yang nilainya B.  Papa bangga sama kamu, Shei!" ujar Papa penuh antusias.

Laki-laki yang sedang menunjukkan selembar transkrip nilai kepada Papa itu, tersenyum lebar, bentuk senyum kotak yang dia tunjukkan merepresentasikan sebuah kebahagiaan yang Rin tak pernah tau rasanya.

"Makasih, Pa. Tapi aku denger-denger Rin juga bisa masuk 10 besar ya UTS kemarin?  Itu hebat banget ya, Pa?" ucapnya.

Alih-alih menyetujuinya, Papa justru langsung beralih ekspresi. Senyum lebarnya langsung tenggelam secepat detik waktu berganti. Raut bahagianya berubah sejalan dengan ucapan Abang pertama Rin selesai terlontar.

"Harusnya Rin ngga cuma masuk 10 besar. Kalau kamu belajar lebih giat, pasti bisa jadi juara kelas, bahkan juara umum," ujar Papa dengan air wajah yang kontras dengan  saat tadi dia menyanjung Abang pertamanya, Sheiichi Reon Arkana.

Bahkan tatapan matanya begitu sulit Rin artikan.

Dan saat itu, pada setiap saat rasa-rasa menyesakkan itu melilit  jantungnya, tak sedikitpun Rin melakukan pembelaan diri. Tak sedikitpun dia mengeluarkan suaranya, mengudarakan segala tanya dan protes yang sebenarnya begitu meronta.

Dia seperti sudah melihat hasil akhirnya jika dia sampai mengeluarkan ketidak terimaannya. Yang mungkin ujung-ujungnya akan sama seperti saat untuk pertama kalinya dia mencoba mengutarakan pendapatnya atas perlakuan Papa dan Mama yang tak sama atas dirinya, dulu. Waktu Rin mendapatkan nilai  dibawah rata-rata, dan dengan panjang lebar Mama dan Papa menghakimi juga memarahinya. Kemudian membandingkan antara dia dan kakak-kakaknya.

Pada saat itu, dengan tegas Mama berkata, "Kamu tuh bisa nggak sih, Rin? Nurut sama Mama dan Papa, sama abang-abang juga? Kalo dibilangin tuh jangan ngeyel! Nggak ada niatan Papa dan Mama buat bersikap pilih kasih ke kamu! Semua  yang dilarang abang-abang kamu itu demi kebaikan kamu! Apa yang Mama dan Papa suruh ke kamu itu juga demi kebaikan kamu!"

"Kalau kamu nggak ngerti tentang sesuatu tanya Papa atau Mama! Tanya Abang juga nggak apa-apa. Jangan diem terus dan akhirnya malah bisa nilainya jeblok gini! Kalo di Jepang, jaman Papa dulu, kamu pasti bakal dimarah habis-habisan sama Kakek-Nenek. Bahkan hukumannya bakal lebih keras dari sekedar diceramahi begini! Ini kamu malah berani-beraninya sampai bantah dan bahas-bahas yang nggak bener!" Tambah  Papa dengan suara yang memekakkan telinga.

Kala itu, Papa dan Mama berhasil meruntuhkan segala harapan Rin. Entah kenapa, pernyataan mereka yang terucap seolah bermakna baik, tapi tetap tak bisa Rin terima dan tak bisa Rin percaya.

Rin masih merasakan adanya ketidak adilan yang dia terima dari Papa dan Mama melalui sikap-sikap mereka yang menyisihkan Rin kesudut dingin bak seorang anak berdosa, dengan dalih semacam kebaikan untuknya  tak  bisa Rin cerna maknanya. Kasih sayang yang harusnya terbagi rata, selama ini tidak begitu yang Rin rasa.

Jika saat dulu Mama dan Papa masih bersama saja Rin masih bisa merasakan sakit itu. Mungkin wajar jika  sekarang saat mereka  telah berpisah presensi Rin semakin hilang dari hadapan mereka. Rasa lara itu harusnya sudah menjadi hal biasa. Tapi Rin hanyalah manusia, dia punya perasaan dan hati yang tak sekuat baja. Rin hanyalah anak yang memiliki naluri dan keinginan untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang sama. Memiliki rumah hangat yang bisa menjadi tempatnya kembali, atau menjadi tempat terakhir yang akan dia lihat sampai akhir hayatnya, seperti hakikatnya keinginan anak-anak lain diluar sana pada orang tuanya.

Adanya Rin selama ini hanya terdiam, karena ada segenap alasan yang membuatnya bertahan sejauh ini. Meskipun dia harus terus memaksa dirinya untuk menelan semuanya sendirian.

 Meskipun dia harus terus memaksa dirinya untuk menelan semuanya sendirian

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.










Rombak ulang!!!! Jangan sampai ketinggalan next-nya ya!

Halo, apa kabar?

Semoga dalam keadaan yang selalu baik.

Kangen nggak? Hehehe. PD banget sumpah kkkkkkkk. Ngomong-ngomong waktu 2 Minggu udah cukup belum buat istirahat? Bisa iya bisa nggak. Yakan?

Tapi Saya memutuskan kembali sekarang, dan tentunya bukan dengan tangan kosong, tapi dengan story baru yang semoga saja bisa diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Segala macam teori, dan materi  yang menjadi bagian cerita didapat dari berbagai sumber. Jika ada kekurangan atau kesalahan diperkenankan untuk mengoreksi.

Jika dalam cerita terdapat kesamaan tokoh dan karakter, dengan cerita lain, itu bukanlah hal yang disengaja. Karena cerita ini memiliki alur yang berbeda dan orisinil.


Terimakasih atas kunjungan dan apresiasinya. Jaga kesehatan dan selamat menikmati cerita.
 

Ayo temani Kisah mereka!!

Senja Kelabu [SLOW UPDATE ]Where stories live. Discover now