06|Memeluk Dua bintang

111 20 7
                                    

Matanya nampak jelas melihat bagaimana Shei bersama Papa menggeret kopernya. Tangan Shei kecil nampak ditarik paksa oleh Papa. Mata yang basah, dan suara yang serak. Shei masih menoleh kearah belakang menatap kearah nya dengan sendu.

"Rin..."ujarnya dengan tangisnya.

Rasanya dadanya terasa terlilit sakit. Sesaknya bukan main. Tangan Rin yang terulur mencoba meraih tangan Shei. Tapi nihil, untuk sekedar berlari lebih dekat, gerak kakinya terasa begitu berat. Udara sekitarnya seolah habis. Rasanya Rin ingin berlari dengan kencang dan menarik Shei kembali.

"Abang!!!!" teriaknya.

Kali ini, mata Rin justru menangkap keadaan gelap kamarnya yang hanya mengandalkan Lampu tidur sebagai penerangan. Dadanya naik turun, dengan nafas yang memburu.

Suara mengi bercampur dengan desah payah hembusan nafasnya.

Ternyata mimpi. Apa yang Rin lihat tentang Shei hanyalah memori lama yang menghampiri tidurnya. Nyatanya sesak itu disebabkan oleh asma nya yang menyerang dalam lelapnya tanpa Rin sadari.

Rin memejamkan matanya sesaat mencoba mengalihkan mimpi buruk itu, agar lebih bisa menjaga ketenangan sebelum memutuskan untuk mencari inhaler-nya. Tapi saat, dia kembali membuka mata, tiba-tiba pandangannya memburam untuk sebelah matanya, sangat buram sampai dia tidak bisa melihat dengan jelas.

Rin semakin panik, dia mencoba mengucek matanya, berharap penglihatannya bisa membaik. Tapi nyatanya itu tak terjadi. Hal itu membuat Rin semakin panik dan pernafasannya semakin Sulit. Dia meraba nakas disamping ranjang berharap dia bisa menemukan inhaler yang dia yakin benar sudah ia siapkan disana sebelum tidur. Tanpa bisa melihat dengan jelas karena penglihatannya terganggu dan keadaan ruang yang redup Rin mencoba benar-benar mengenali apa saja yang telah tersentuh ditelapak tangannya. Tapi alih-alih mendapatkan obatnya, Rin justru menyenggol gelas air hingga terjatuh dan pecah menjadi beberapa bagian.

Rin semakin kalut, dadanya semakin sakit. Suara mengi pernapasan dan batuknya semakin keras, melebihi suara jarum jam disana.
Dia pun beranjak dari kasurnya hendak turun untuk mencari obatnya dengan penglihatannya yang terganggu. Tapi bahkan belum sampai telapak kakinya menginjak dingin lantai dibawah.

Tiba tiba dia mendengar decit pintu kamarnya terbuka,, lalu sekian detik selanjutnya sebelah matanya yang berkaca itu, bisa melihat lampu kamarnya dinyalakan, derap kaki mendekat dengan terburu-buru.

"Stop! Rin! Jangan turun! Ada pecahan gelas!!" Titah seseorang yang berjalan mendekat.

Rei, dia adalah Rei. Rin pun tak jadi turun.

"Banghh- to-longh, obath gue..." pinta Rin dengan terbata karena nafasnya yang semakin memendek.

Dengan cekatan, Rin bisa merasakan tangan hangat Rei yang memegang tangannya, dan menaruh inhaler-nya ditangannya.

"Nafas perlahan, jangan panik," bisik Rei.

Dengan beberapa kali hisapan inhaler-nya, Rin mencoba menetralkan pernapasan. Tangannya menggenggam erat tangan Rei.

Rasanya begitu menakutkan.

Setelah beberapa saat, perlahan nafasnya membaik. Rin pun terlihat lebih tenang.

"Bang, thanks." Ujarnya dengan senyum palsu.

"Kambuh pas lagi tidur?" tanya Rei dengan pelan.

"Hm," angguk Rin.

"Terus kenapa bisa pecah gelasnya?"

Rin sempat terdiam, jika harus menjawab tak sengaja tersenggol karena dia tidak bisa melihat, Rin tahu itu akan membuat Rei semakin khawatir.

"Tadi panik aja," jawab Rin dengan cepat.

"Hati-hati lain kali. Untung Abang aja yang denger. Kalo Mama tau dan liat lo kambuh lagi, dimarahin lagi lo nanti,"

"Iya sorry,"

"Sekarang udah ok?"

"Iya,'" bohongnya, meskipun dia masih begitu takut kala matanya masih memburam.

"Hufftth...... Lo bikin gue panik tau ngga?Ya udah, tidur lagi! Pecahan gelasnya Abang bersihin dulu. Tadi hampir keinjek lo! Kalo gue ngga teriak, gimana coba?! Kalo panik itu jangan asal gerak Rin, tau kan lo kalo dibawah lo ada pecahan gelas yang lo senggol?" ujar Rei pelan tapi nadanya terdengar sedang menahan emosi.

"Iya, maaf,"

"Maaf-maaf! Ceroboh banget! "

Rin hanya terdiam, kala Rei menggerutu didepannya. Rasa takut nya belum hilang malah ditambah dengan rasa bersalah kala Rei sampai begitu kesal.

Rasanya malam ini adalah malam yang sangat buruk. Karena asmanya yang sering kambuh beberapa malam terakhir, yang mungkin disebabkan stress karena kemarahan Mama beberapa hari lalu.

Rin hanya tertunduk sampai saat Rei kembali dengan serok sampah dan sapu. Membersihkan pecahan gelas itu dengan pelan.

Untuk itu, dia menutup mata sesaat, mengusap kelopak matanya yang sempat memburam dengan perasaan yang masih tak karuan. Kala dia membuka matanya lagi, entah keajaiban dari mana Rin bisa kembali melihat pada akhirnya.  Rin pun bisa menarik nafas lega.

"Udah istirahat," peringat Rei.

Rin justru menjatuhkan air matanya dibalik tundukkan kepalanya.

"Sorry, Bang...."

Kala itu, Rei menghembuskan nafasnya panjang. Hembusan nafasnya terdengar begitu dalam. Dan tiba-tiba tubuh Rei memeluknya.

"Iya, nggak apa-apa. Sorry gue marah-marah. Gue takut aja tadi. Gue khawatir."

Rin tak menjawab, dia masih terisak didalam peluk Rei.

Rei pun menjadi tak enak hati membuat Rin begitu sedih kala anak itu masih berusaha bertahan dengan keadaannya.

"Bang, tadi gue mimpi Bang Shei yang dulu pergi, rasanya sakit..."

"Jadi gara gara mimpi itu dan asma lo kambuh yang bikin lo panik?"

Rin mengangguk.

"Nggak usah takut, sejauh apapun Shei pergi, dia nggak akan pernah lupa sama lo. Gue juga ada disini buat lo. Jangan ngerasa sendiri, dek. Abang disini."

"Jangan tinggalin gue ya, Bang."

"Ssttt,.... gue pernah dengar, orang yang bilang begitu, justru dia yang bakal pergi duluan. Jadi please jangan bilang gitu lagi, tanpa lo minta gue juga nggak pernah mau ninggalin lo."

"Gue cuma takut, Bang. Lo tau gue gimana dimata Papa dan Mama. Gue juga gak bisa leluasa deket sama Bang Shei kayak dulu, karena Papa. Gue nggak mau lo ikutan pergi ninggalin gue, karena gue yang ngerepotin begini,"

"Nggak akan. Lo nggak pernah ngerepotin. Percaya sama gue. Udah tidur. Gue matiin lampunya ya. Nanti Mama kebangun malah ketauan."

Rin akhirnya mengangguk, melepaskan pelukann Rei, dia merelakan Rei pergi.

Rin sungguh masih takut, apabila penglihatannya kembali buram. Dia mencoba mengedipkan matanya beberapa kali, alih-alih penglihatannya yang membaik, malah matanya semakin memberat. Sampai dia tak tahu kapan dia terlelap dan tenggelam dialam mimpi bersama takut yang masih dia bawa tanpa disadari.

-----★_★_★---------












Ini masih ada lanjutannya btw. Tapi next time gw revisi dan tambah lagi deh.

Yg kangen Rin merapat.
Yg lupa cerita nya silahkan dibaca ulang. 😃🙏🏻

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 01 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Senja Kelabu [SLOW UPDATE ]Where stories live. Discover now