05| Menari dengan Badai

137 19 7
                                    

Saat langit kelabu datang menjemput , Rin memandangnya sejenak, sekilas rasanya hampir sama. Awan abu-abu itu selalu membawa kenangan yang menyesakkan, meskipun kejadian itu justru ada di kala senja sore bukan pagi hari.

Segala kenangan yang tercipta dibawah langit abu yang mulai menggelap tak akan pernah Rin lupa. Bukan hanya Rin, tapi mungkin juga untuk kedua kakaknya.

Saat itu, Mama dan Papa pulang dengan kendaraan mereka masing-masing. Wajah yang terlihat tegang jelas mampu membuat ketiga bocah belia pun tau ada sesuatu yang tak baik-baik saja yang dua orang dewasa itu bawa.

Saat itu, antusiasme Rei yang diikuti Shei dan Rin membukakan pintu untuk menyambut kepulangan kedua orang tuanya, hilang begitu saja, saat tiba-tiba Papa menarik tangan Shei dan Mama menggenggam tangan Rei.

"Sudah seperti keputusan di pengadilan tadi, Shei akan aku bawa. Aku tidak akan membatasi kamu untuk bertemu dan berkomunikasi dengan Shei tapi aku harap jangan sampai mengganggu segala aktivitas dia kedepannya," ujar Papa.

"Oke, aku paham. Begitu juga dengan Rei, karena hak asuh Rei sudah ada di aku, kamu nggak usah atur-atur Rei sesuai keinginan kamu! Semua tentang Rei ada ditangan ku!"

Kala itu, Rin masih ingat betul kebingungan yang melingkupi perasaannya, tentang apa yang sebenarnya orang tuanya katakan, tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Tapi tetap saja dibalik bingungnya, ada sekian rasa sesak kala dia melihat dibalik raut sengit antara kedua orang tua itu, mereka terlihat saling melindungi tangan kecil yang mereka genggam erat. Sedangkan tangannya sama sekali tak ada satupun yang mau memegang. Bocah berusia tujuh tahun itu, masih merasakan keirian untuk hal semacam itu.

Ada juga yang terlintas dipikirannya tentang tanya, kenapa tangannya tak Mama atau Papa genggam erat seperti tangan Abangnya? Kenapa tak ada yang memilihnya?

"Shei! Ayo ikut Papa! Kemasi barang kamu kita pindah ke rumah Papa!"

Tukas Papa menarik Shei menuju kamarnya dan mengemasi barang-barang Shei dengan terburu-buru. Kala itu Shei sempat berontak dan bertanya kenapa dan apa yang terjadi, secara berulang. Tapi Papa hanya bilang, Shei akan tahu jika sudah waktunya.

Rin dan Rei pun sempat menarik-narik tangan Papa agar tak membawa Shei pergi, dan memisahkan mereka, tapi bahkan Papa hanya membentak mereka yang dari awal sudah menangis melihat ketegangan yang ada.

Kala itu Mama menarik Rei dan menggendongnya. Sementara Rin, Mama hanya meminta asisten rumah tangga yang dulu pernah ada dirumah ini sebelum akhirnya mengundurkan diri setelah perceraian mereka, untuk menjaga Rin yang kesulitan bernafas.

Ketika itu, waktu Shei dipaksa Papa untuk ikut berjalan pergi meninggalkan rumah, Rin sempat mengejar, meskipun dengan susah payah melepaskan diri dari asisten rumah tangga yang mencegahnya, juga dari sesak yang melilit dadanya.

Dalam buai angin yang berhembus cukup kencang, dan dibawah kelabu dan rintik yang perlahan turun, Rin melihat bagaimana Shei dipaksa masuk mobil, hingga kemudian mereka pergi meninggalkan Rin didepan pintu.

Pada momen itu pertahanan Rin hancur bersama keluarga dan rumahnya.

Sebelum itu terjadi, Rin sudah banyak mengalami rasa ketidak adilan. Lalu setelah perceraian itu, membuat Rin merasa dia hanya sendiri di dunia ini. Dalam sekian waktu itu, Rin sudah belajar memeluk badainya yang telah berlalu, bersama luka yang tak pernah sembuh walaupun diobati waktu.

Yang ada, makin hari, luka itu terus tertimpa dengan luka baru.

"Dikancingin jaketnya, Rin."

Seketika pandangan Rin teralih menatap Rei yang sudah siap, diatas motor dengan mesin yang menyala.

Senja Kelabu [SLOW UPDATE ]Where stories live. Discover now