03|Menghadapi Kelabu Badai

103 22 2
                                    


Minggu pagi, dengan bermodalkan kaos miliknya yang tertinggal karena sering tiba-tiba menginap disini, dan dipijami hoodie berwarna biru tua milik Shei, Rin keluar kamar dengan style rambut yang dia tata serapih mungkin.

Dengan perlahan dia berjalan mendekati meja makan dimana sudah ada Shei disana bersama Papa.

"Pagi Pa, Bang," sapa Rin.

Sapa sederhana itu dibalas dengan senyum lembut oleh Abangnya

" Rambut dari barber shop mana? Ini beneran Rin, kan?" Ledek Shei menyambut kedatangan adik lelakinya.

"Iyalah, Rin. Emang aneh, ya?" tanya Rin malah jadi panik karena canda yang Shei lemparkan.

"Nggak, cuma kamu kalo mau ke gereja pasti rapi banget. Giliran kalo ke sekolah malah kadang acak-acakan. Heran Abang tuh. Kalo kata Rei, kamu kalo mau ke gereja malah kayak artis mau Photo shoot,"

Rin terdiam malu karena ternyata selama ini Shei dan Rei diam-diam menganggap kebiasaannya itu sebagai hal yang mengherankan.

Dia sesekali melirik pada Papa yang hanya terdiam memainkan ponselnya, bahkan tak menggubris sedikit pun obrolan mereka berdua. Rasanya  setiap kali Rin ada diantara Shei dan Papa, lelaki berusia empat puluh lima tahun itu tak pernah menunjukkan senyumnya. Yang ada hanyalah wajah datar dengan tatapan dingin yang jauh dari jangkauan hangat bagi Rin.

"Ya karena mau berdoa sama Tuhan, makanya harus rapi," jawab Rin.

Lalu Shei menarik kursi dan mengomandani Rin untuk mendekat.

"Udah buruan sarapan, terus berangkat!"

Setelah adiknya sudah berada disampingnya, Shei mengambilkan nasi dan lauk yang tersedia. Dengan rasa yang sedikit terbilang canggung, Rin menyantap sarapannya. Sebab dari semalam perutnya dibiarkan kosong setelah keributan diantara dia dan Papa.

Sesekali Rin melempar pandangan pada Papa yang kini justru menatapnya dengan tajam tanpa Rin tau sebabnya, membuat Rin sedikit gugup dan tak berani berlama-lama bertemu mata dengan Papa.

Saking gugupnya, makannya pun menjadi tak nyaman dan tenggorokannya kering. Rin pun mengangkat gelasnya yang masih kosong, meminta Shei untuk menuangkan air bening yang ada diteko didepannya.

"Bang, tolong minumnya," pinta Rin.

Shei langsung mengerti dan menuangkan air itu. Tapi saat air itu mengisi gelas  dan memberikan beban yang perlahan memberat, saat dingin air  merambat dari permukaan gelasnya mulai bersentuhan dengan kulit jari jemari Rin. Saat itu tiba-tiba tangan Rin  kesemutan sesaat lalu berubah menjadi mati rasa sampai Rin tak bisa merasakan gelasnya yang akhirnya terjun bebas menghantam lantai granit dibawahnya sampai pecah beberapa bagian.

Tak pelak itu membuat Shei terkejut juga dengan Papa.

"Eh! Rin? Are you okay?"

Rin hanya terdiam dengan tangannya yang perlahan juga melemas dan turun begitu saja. Diamnya Rin sebenarnya dia juga merasa kaget dan takut. Dia kaget karena tiba-tiba saja tangannya tak bisa merasakan apa-apa, sedangkan dia juga takut kala dia sadar ulahnya kali ini pasti akan membuat Papa murka.

Badan Rin bergetar, nafasnya mulai memendek. Dia tak berani menatap siapapun.

"Dek? Hei! Rin!" Shei menggoyangkan bahu Rin, agar bocah itu bisa sedikit sadar.

"B-b-bang, maaf.... Tangan Rin mati rasa," ujar Rin dengan nafas yang tak lancar dan raut wajah ketakutan.

Shei lantas menjadi sedikit panik, dia segera meraih tangan Rin, dan memijatnya.

Senja Kelabu [SLOW UPDATE ]Where stories live. Discover now